Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Moratorium Eksekusi Mati

Kompas.com - 12/04/2018, 16:05 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid memaparkan, kecenderungan global dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati menunjukkan tren positif.

Artinya, sejumlah negara telah menghapus atau tidak melakukan eksekusi mati.

"Sebagian kontribusi dari Pemerintah Indonesia yang pada tahun 2017 sama sekali tidak mengeksekusi satu orang pun warga negara Indonesia maupun warga negara asing," ujar Usman dalam Laporan Statistik Amnesty International tentang Penggunaan Hukuman Mati, di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, Kamis (12/4/2018).

Dengan demikian, Usman mengingatkan pemerintah agar meninjau ulang penerapan hukuman mati.

Baca juga : 20 Tahun Menanti Eksekusi Mati, Perempuan Ini Akhirnya Dibebaskan

Salah satunya, bisa ditempuh dengan menetapkan moratorium untuk tidak mengeksekusi terpidana mati.

"Ada dua pertimbangan mengapa moratorium ini penting. Pertama, untuk menghindari tuduhan kepada Pemerintah Indonesia berupa pemberlakuan standar ganda ketika memperjuangkan WNI yang menghadapi eksekusi mati di negara-negara lain," ujar Usman.

Pemerintah, kata Usman, harus meyakinkan negara-negara lain agar tidak mengeksekusi mati WNI yang terjerat kasus hukum di luar negeri.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak melakukan eksekusi mati terhadap warga negara lain yang terlibat kasus hukum di Tanah Air.

"Kedua, pesan kami, adalah juga karena perkembangan terakhir semakin memperlihatkan ada masalah serius di dalam peradilan indonesia," kata Usman.

Baca juga : Hindari Eksekusi Mati Berulang, APJATI Desak Pemerintah Percepat Negosiasi dengan Saudi

Ia menyoroti putusan lembaga peradilan yang dinilainya terkadang tak adil. 

"Ini bukan tanpa harapan, pada bulan Agustus 2017, Pemerintah Indonesia melalui Menkumham memiliki langkah positif dengan meninjau ulang rencana eksekusi mati seorang warga Nias bernama Yusman," paparnya.

Yusman merupakan salah satu korban dari peradilan yang salah menempatkannya sebagai korban penyiksaan dan peradilan memvonis hukuman mati. Saat itu, Yusman tidak diberikan kesempatan untuk membela dirinya.

"Baru setelah pembela publik bergerak membantu Yusman, pada akhirnya Yusman dibebaskan. Ini bukti yang memperlihatkan eksekusi mati itu rentan dalam kesalahan peradilan," kata dia.

Baca juga : Jokowi Sudah Minta Penundaan Eksekusi Mati Zaini Misrin Sejak 2015

Kasus lainnya, eksekusi mati terhadap warga Nigeria, Humprey Jefferson. Usman mengatakan, Ombudsman menemukan adanya pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung karena Humprey tengah menunggu proses pengajuan grasi.

"Untuk mencegah kesalahan semacam ini pemerintah perlu meninjau ulang ini. Dan 2018 ini adalah momentum baik bagi pemerintah untuk memberlakukan moratorium hukuman mati," ujar Usman.

Ia berharap seluruh petinggi negara untuk mengambil kebijakan moratorium. Menurut Usman, sejarah penghapusan hukuman mati bukan melalui referendum atau konsesus publik, melainkan karena keberanian dan kesadaran pemimpin negara.

Kompas TV Indonesia menyayangkan peradilan sepihak Arab Saudi terhadap TKI asal Bangkalan Zaini Misrin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Imigrasi Bakal Terapkan 'Bridging Visa' Buat WNA Sedang Urus Izin Tinggal

Imigrasi Bakal Terapkan "Bridging Visa" Buat WNA Sedang Urus Izin Tinggal

Nasional
Muncul Wacana Cak Imin Maju di Pilgub Jatim, Dewan Syuro PKB: Fokus Kawal MK

Muncul Wacana Cak Imin Maju di Pilgub Jatim, Dewan Syuro PKB: Fokus Kawal MK

Nasional
Seluruh Kantor Imigrasi Kini Layani Pembuatan Paspor Elektronik

Seluruh Kantor Imigrasi Kini Layani Pembuatan Paspor Elektronik

Nasional
KPK Sebut Nasdem Sudah Kembalikan Rp 40 Juta dari SYL

KPK Sebut Nasdem Sudah Kembalikan Rp 40 Juta dari SYL

Nasional
17 Agustus 2024, Paspor RI Ganti Warna

17 Agustus 2024, Paspor RI Ganti Warna

Nasional
Komisi VIII DPR Harap Resolusi Gencatan Senjata di Gaza Akhiri Penderitaan Rakyat Palestina

Komisi VIII DPR Harap Resolusi Gencatan Senjata di Gaza Akhiri Penderitaan Rakyat Palestina

Nasional
PAN Sebut Susunan Kabinet Prabowo Akan Dibahas Usai Gugatan di MK Selesai

PAN Sebut Susunan Kabinet Prabowo Akan Dibahas Usai Gugatan di MK Selesai

Nasional
DPR RI Resmi Sahkan RUU Desa Menjadi UU, Jabatan Kades Kini Jadi 8 Tahun

DPR RI Resmi Sahkan RUU Desa Menjadi UU, Jabatan Kades Kini Jadi 8 Tahun

Nasional
Menko Polhukam Akan Bentuk Tim Tangani Kasus TPPO Bermodus 'Ferienjob' di Jerman

Menko Polhukam Akan Bentuk Tim Tangani Kasus TPPO Bermodus "Ferienjob" di Jerman

Nasional
PAN Yakin Prabowo-Gibran Bakal Bangun Kabinet Zaken

PAN Yakin Prabowo-Gibran Bakal Bangun Kabinet Zaken

Nasional
Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Puan Lantik 3 Srikandi Anggota PAW dari Fraksi P-Nasdem, PPP, dan PKB

Nasional
Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Jokowi Gelar Bukber di Istana, Wapres Singgung soal Kendalikan Nafsu Saat Berikan Tausiyah

Nasional
Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Misi Kemanusiaan di Palestina, Fadli Zon Harap Kerja Sama Lembaga Zakat Indonesia-UNRWA Segera Dibentuk

Nasional
Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Soal Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis, Kubu Ganjar-Mahfud: Alasan Mengada-ada

Nasional
DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

DPR Setujui Perpanjangan Waktu Pembahasan RUU KIA, Puan Ungkap Alasannya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com