Hari itu tepat 29 Juli 1947. Sekitar pukul 05.00 dini hari, para penerbang muda yang siap menjalankan serangan balasan terhadap Belanda telah berada di pesawat masing-masing dan dalam posisi lepas landas.
Keadaan di luar masih gelap gulita, tidak tampak bulan, tapi cuaca cukup cerah. Berhubung tidak ada lampu di area landasan, para penerbang dibantu dengan sorotan lampu mobil yang diparkir di sisi landasan.
Tepat pukul 05.11, mereka terbang menuju sasaran. Mulyono take off lebih dulu, kemudian Sutardjo Sigit dan diikuti Suharnoko Harbani.
Misi operasi udara di Kota Semarang
Kadet Mulyono yang membawa pesawat Guntei buatan pabrik Mitsubishi Jepang menuju Kota Semarang. Pesawat buatan tahun 1938 ini membawa muatan enam buah bom.
Masing-masing seberat 100 kilogram yang diletakkan tiga buah di bawah sayap kiri dan kanan.
Saat itu, hari telah menjelang fajar, sehingga suasana agak remang-remang. Kondisi ini memungkinkan Mulyono untuk mengenali tanda-tanda di darat.
Setelah mendekati daerah sasaran, Mulyono lebih dulu mengitari daerah sasaran untuk memahami medan. Setelah melewati Laut Jawa, pesawat yang digunakan Mulyono belok kembali ke arah selatan dan menyerang Semarang.
Serangan Muyono dilakukan di dua tempat, yakni di kota bagian bawah dan bagian atas Kota Semarang.
Enam bom telah dijatuhkan di kedua tempat itu. Siasat ini sama sekali tidak diketahui militer Belanda. Kondisi ini membuat mereka menjadi panik.
Militer Belanda berlarian menuju Pangkalan Udara Kalibenteng dan memaksa menerbangkan pesawat.
Namun, akibat mesin pesawat belum panas, satu pesawat itu jatuh dan tersungkur di ujung landasan.
Pesawat Belanda lainnya akhirnya mengurungkan niat untuk mengejar pesawat Mulyono.
Sebanyak enam bom yang dijatuhkan ternyata telah menewaskan 7 orang dan sejumlah orang terluka. Kemudian, merusak 11 bangunan. Sebuah pabrik gas tidak luput dari sasaran tembakan.
Serangan di Salatiga, bom yang tak mau lepas hingga kado istimewa
Kadet Penerbang Sutardjo Sigit mendapat giliran kedua. Pesawat yang dibawanya bersiap-siap menuju Kota Salatiga.
Namun, suatu kejadian membahayakan menjadi pembuka. Lampu sorot yang sangat terang di area landasan membuat silau mata Sutardjo.
Perubahan yang sangat mendadak dari terangnya lampu sorot ke kegelapan malam menyebabkan kebutaan beberapa saat. Instrumen pada panel depan bahkan tak terbaca sama sekali.