JAKARTA, KOMPAS.com – Komodor muda udara Marsekal TNI Agustinus Adisutjipto merupakan satu dari sedikit barisan pemuda yang memiliki kemampuan menerbangkan pesawat di masanya.
Ia merupakan penerbang Vaandrig Kortuerban Vlieger yang meraih groot military brevet (GMB) kelas 1 dan brevet navigator pada masa penjajahan Belanda.
Sebelum perang pasifik, Adisutjipto ditugaskan di salah satu skadron dengan kekuatan armada pesawat bomber Glenn Martin (B-10). Selanjutnya ia dialihtugaskan ke skadron pengintai Curtiss Falcon.
"Semangat dan keberaniannya itu mengalahkan segalanya, termasuk risiko yang kemungkinan dihadapinya. Tekadnya hanya satu, menerbangkan pesawat-pesawat itu," demikian kutipan buku "Persitiwa Heroik 29 Juli 1947" terbitan Subdinas Sejarah Dinas Penerangan Angkatan Udara.
(Baca juga: Adisutjipto, Bandara Paling Crowded dengan Kapasitas Terbatas)
Adisutjipto kemudian diajak kawan lamanya, Mayor Tentara Keamanan Rakyat Tarsono Rudjito untuk membentuk TKR Jawatan Penerbangan. Tanpa ragu ia pun bergabung. Ia merasa jiwanya terpanggil untuk bisa berbuat lebih banyak dalam melawan imperialis Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Adisutjipto menyadari bahwa kemampuan yang ia miliki masih langka. Tenaganya sangat dibutuhkan untuk mempertahankan NKRI. Semangatnya terpompa untuk menghidupkan Angkatan Udara begitu sampai di Landasan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Apalagi ia melihat rakyat Indonesia memiliki kualifikasi sebagai teknisi pesawat pada jaman Belanda dan Jepang. Hal tersebut bisa jadi modal untuk merebut dan menguasai lapangan terbang beserta pesawat-pesawat itu dari tangan penjajah.
"Ia menyadari beban ini dirasa berat, apalagi ia belum pernah menerbangkan pesawat buatan Jepang. Untungnya dia pernah belajar terbang dengan pesawat bersayap dua saat menjadi siswa penerbang jaman Belanda," dikutip dari buku tersebut.
Dirikan sekolah penerbangan
Awal baktinya bagi Angkatan Udara dimulai ketika dia menerbangkan pesawat Cureng buatan Jepang yang memakai tanda merah putih pada 27 Oktober 1945. Pesawat itu melintas di langit kota Yogyakarta.
(Baca juga: Bandara Adisutjipto Berbenah untuk Mengurai Kepadatan Penumpang)
Peristiwa ini menjadi tonggak sejarah penerbangan nasional karena pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, sebuah pesawat terbang beridentitas merah putih terbang di angkasa. Penerbangnya pun orang Indonesia.
Keberhasilan ini memompa semangatnya untuk menerbangkan pesawat lainnya. Namun, ia menyadari bahwa tenaga penerbang sangat kurang.
Adisutjipto berambisi negaranya bisa melahirkan penerbang-penerbang andal pasca Indonesia merdeka. Atas dasar itulah ia memprakarsai sekolah penerbangan pertama di Indonesia yang bermarkas di pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta.
Bandara ini yang kelak berubah nama menjadi Adisutjipto pada 17 Agustus 1947.
(Baca juga: Pengumuman di Bandara Adisutjipto Pakai Bahasa Jawa)
Siswanya terdiri dari beberapa orang yang sudah belajar menerbangkan pesawat, seperti Abdulrachman Saleh dan beberapa yang belum belajar sama sekali. Jumlah siswanya sekitar 30 orang. Tak hanya sebagai kepala sekolah, Adisutjipto juga berperan sebagai instruktur.