JAKARTA, KOMPAS.com - Sadar akan keadaan yang semakin mendesak, Pimpinan TNI AU Komodor Udara Suryadi Suryadharma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma beberapa kali mengadakan rapat tertutup. Tak ada seorangpun mengetahui apa yang dibicarakan.
Sebagai langkah awal, pimpinan TNI AU meminta kesediaan teknisi untuk mendukung kegiatan. Para pimpinan menyadari kerja keras para teknisi.
Sejak agresi militer, para teknisi disibukkan dengan latihan para penerbang muda. Kemudian, disibukkan dengan datangnya pesawat Dakota dari negara tetangga seperti India dan Filipina.
Dalam suatu peristiwa, teknisi mendorong pesawat sejauh 1,5 kilometer dari landasan, untuk disembunyikan di bawah pohon dan ditimbuni ranting dan daun-daun.
(Baca juga: Semangat Penerbang Muda dalam Serangan Balasan TNI AU ke Belanda (Bagian I))
Ketika pesawat harus terbang, pada pukul 04.00 pagi, para teknisi harus mendorong pesawat yang besar itu kembali ke landasan.
Di bawah pimpinan Basir Surya, para teknisi bekerja siang dan malam. Untuk melengkapi persenjataan Guntei, para teknisi tidak mengalami kesulitan, karena pesawat ini termasuk pesawat tempur. Namun, untuk pesawat jenis Cureng, para teknisi mengalami kesulitan. Pesawat tidak dilengkapi gantungan bom, ataupun buku petunjuk.
Di bawah sinar lampu, para teknisi sibuk memasang rak penggantung bom di bawah sayap, serta senapan mesin di kokpit belakang. Beberapa penerbang muda dengan ringan tangan membantu. Mereka tidak menghitung untung rugi, walaupun hanya makan ubi rebus seadanya.
Malam sebelum serangan
Malam hari pada 28 Juli 1947, seorang kurir datang asrama perwira di Wonocatur, tempat yang dijadikan lokasi konsinyering para perwira penerbang. Dia membawa perintah dari KSAU kepada empat orang Kadet penerbang.
Mereka adalah Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani dan Bambang Saptoadji. Mereka berempat diminta menghadap pimpinan.
(Baca juga: Kisah Mendebarkan Pesawat RI-001 Selundupkan Senjata Pasca Kemerdekaan)
Dalam pertemuan malam itu, KSAU berbicara singkat yang intinya menyatakan bahwa serangan balasan sangat diperlukan. Hal itu untuk membakar kembali semangat perjuangan.
Halim Perdanakusuma yang juga hadir mengatakan, operasi udara itu berupa pemboman dan penembakan di kota yang telah dikuasai musuh di Jawa Tengah. Halim kemudian menegaskan bahwa tugas ini bukan perintah, melainkan sukarela.
Tugas berat yang mempertaruhkan nyawa itu segera dibalas dengan kesiapan keempat penerbang muda.
Kobaran semangat dan rasa tanggung jawab untuk membela negara telah tertanam kuat di hati mereka. Bagi mereka yang usianya sekitar 20 tahun, tugas ini adalah suatu kehormatan.
Setelah mendapat penjelasan, mereka mulai membagi tugas. Kadet Udara I Mulyono ditugaskan menyerang Semarang. Dia didampingi penembak udara Sersan Udara Dulrachman. Mereka menggunakan pesawat pembom tukik Guntei. Pesawat ini dibekali bom seberat 400 kilogram dan beberapa senapan mesin.
(Baca juga: PHB AURI, Tulang Punggung Komunikasi Pejuang Kemerdekaan RI)
Kemudian, Kadet Udara I Bambang Saptoadji ditugaskan menggunakan pesawat Hayabusha untuk mengawal pembom Guntei di atas Kota Semarang.
Sementara itu, Kadet Udara I Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Sersan Udara Kaput ditugaskan menyerang Salatiga. Mereka menggunakan pesawat Cureng.
Untuk semuanya, mereka diingatkan tentang penggunaan taktik mendadak (surprise). Mereka menyadari bahwa mereka sangat terbatas dalam hal pesawat dan awaknya. Untuk itu, serangan harus dilakukan sedini mungkin.
Operasi harus berlangsung kurang dari satu jam untuk menghindari penyergapan atau pengejaran lawan.
(Baca juga: Angkatan Udara Republik Indonesia, 72 Tahun Silam Hingga Kini...)
Malam semakin larut. Tepat pukul 01.00, teknisi memastikan bahwa pesawat Hayabusha tidak dapat melaksanakan operasi. Hal itu disebabkan sistem senjatanya rusak dan tidak dapat diatasi.
Kabar buruk itu betul-betul mengecewakan Kadet Bambang Saptoadji. Mimpinya untuk mendarmabaktikan tenaga dan jiwa untuk Tanah Air sirna seketika. Terlebih lagi, operasi ini adalah ajang pembuktian kemampuannya di hadapan Pimpinan TNI AU.
Mobil mogok hingga kata-kata penyemangat KSAU
Setelah menerima perintah, para penerbang kembali ke Wonocatur untuk istirahat sebentar. Tempat tidur Sutardjo berupa lima kursi kantor yang dibuat sejajar dan payung udara yang dijadikan bantal tidak cukup nyaman.
Apalagi ditambah bayangan yang berkecamuk di dalam pikiran. Sutardjo yang hari itu tepat berusia 20 tahun bertanya dalam hati, masihkah usianya bertambah, atau berhenti bersamaan dengan operasi militer yang sudah di depan mata.
(Baca juga: Tingkatkan Kemampuan Pilot, Pesawat Tempur Skadron Udara 12 Latihan Terbang Malam)
Pada malam itu, mereka hanya tidur dua jam. Pukul 04.00 dini hari, mereka sudah siap di lapangan terbang Maguwo. Mereka berangkat menggunakan mobil Packard warna hitam.
Sialnya, di tengah jalan sedan tua tersebut mendadak mogok. Walau sudah didorong, mesin tetap tak mau menyala. Bahkan, muncul percikan api dari bagian mesin. Akibatnya, keempat kadet tersebut meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Di pangkalan udara, KSAU Komodor Udara Suryadi Suryadharma dan pimpinan TNI AU lainnya telah menunggu. Para penerbang menerima briefing terakhir sebelum menjalankan misi. Kini tiba saatnya pelepasan ketiga pesawat.
Saat itu, Suryadharma menyampaikan kata-kata, “Saya tunggu kalian di sini”. Para penerbang muda itu pun pamit dan berjalan menuju pesawat masing-masing.
Bersambung "Semangat Penerbang Muda dalam Serangan Balasan TNI AU ke Belanda (Habis)"
***
Dalam rangka HUT ke-72 TNI AU ini pula, Kompas.com akan menanyangkan sejumlah berita-berita angkatan udara Indonesia sejak dahulu hingga saat ini, termasuk kisah-kisah heroik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Simak selengkapnya di Kompas.com sepanjang hari ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.