JAKARTA, KOMPAS.com - "Andai saja waktu itu tidak ada PHB AURI, maka eksistensi perjuangan Pemerintah Republik Indonesia mungkin tidak akan pernah diketahui dunia internasional," kata pimpinan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Perwiranegara.
Bukan tanpa alasan Syafruddin mengatakan kalimat tersebut. Ia paham dan sadar betul peran besar Radio Perhubungan (PHB) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Siapa yang sangka, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, bangsa ini tak henti berjuang meski sudah menyatakan kemerdekaan sekali pun.
(Baca juga: Bapak AURI yang Merekam Sejarah Indonesia Lewat Koleksi Prangko)
Pada 29 September 1945, kedatangan sekutu yang bertujuan melucuti tentara Jepang alih-alih membawa angin segar, justru membawa prahara baru.
Membonceng Netherland Indies Civil Administration (NICA), sekutu justru membukakan pintu masuk tentara Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Babak baru pun dimulai.
Belanda merasa masih punya hak atas wilayah Indonesia, namun Indonesia dengan tegas menyatakan sebagai negara berdaulat. Perseteruan itu pun berlanjut dari meja perundingan hingga aksi agresi militer.
Tulang Punggung
Di tengah upaya mempertahankan kemerdekaan RI, disanalah PHB AURI mengambil peran sentral pada Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.
Sejak 21 Juli 1947, Belanda membombardir wilayah Indonesia melalui darat, laut dan udara. Salah satu sasarannya yakni pangkalan udara AURI. Akibatnya, stasiun radio yang dibangun oleh anggota PHB AURI harus ditinggalkan dalam kondisi puing-puing.
Sejak saat itulah, anggota PHB AURI mengadakan gerilya agar tidak mudah dideteksi tentara Belanda. Caranya, dengan membumihanguskan stasiun radio di berbagai pangkalan udara AURI.
(Baca juga: Soeriadi Suryadarma dan AURI di Awal Indonesia Merdeka)
Sementara itu, beberapa alat-alat radio PHB AURI yang Jawa dibawa ke beberapa daerah misalnya ke Tumpang/Kepanjen Malang, Cepu, dan ke induk stasiun PHB AURI di Yogyakarta.
Sementara di Sumatera, bebarapa alat radio yang bisa diselamatkan dari serangan tentara Belanda di bawa ke Pagar Alam Sumatera Selatan. Adapun di Aceh, Stasiun radio didirikan di Kotaraja.
Berdasarkan data yang termuat di buku Radio Perhubungan Auri: Jaringan Komunikasi Mempertahankan Kemerdekaan RI, terdapat 18 stasiun radio PHB AURI pada Oktober 1947.
Pusat stasiun radio PHB AURI dari seluruh stasiun radio yang ada berada di markas tertinggi AURI, Yogyakarta.
Peran penting PHB AURI terlihat saat Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dengan sasaran utamanya yakni Yogyakarta, pusat permintaan Republik saat itu.