JIKA ada ungkapan gantungkan cita-citamu setinggi langit, sepertinya itu tak berlaku bagi Muhaimin Iskandar. Menurutnya cita-cita cukup disangkutkan ke awan saja. Awan itu pun sudah cukup tinggi.
Jadi capres itu berat. Maka, Muhaimin memilih mengejar posisi cawapres saja. Cawapres itu pun sudah cukup bergengsi.
Meski untuk "kredo" nya itu, ia jadi seolah tak tegas ingin jadi cawapres siapa. Jokowi oke, Prabowo juga oke.
Dengan Jokowi, ia jadi "JOIN", Jokowi-Muhaimin. Dengan Prabowo, ia jadi "POIN" Prabowo-Muhaimin. Bahkan jika dengan Gatot Nurmantyo, ia bisa jadi GAMIS alias Gatot-Muhaimin Iskandar.
Melalui baliho-balihonya yang terpampang di setiap sudut jalan di berbagai wilayah di Indonesia, Muhaimin bisa jadi sedang ingin mengajari elit politik Idonesia tentang keterusterangan.
Jadi politisi itu tak perlu malu-malu. Jika niatmu baik untuk membangun bangsa, ungkapkan dan kampanyekan.
Dengan ini pula, ia tengah menyindir sejumlah elit dan ketua umum partai politik yang tak berterus terang ingin ikut berlaga di Pilpres 2019 tapi terus melakukan pendekatan diam-diam dan lobi-lobi agar bisa bisa dipilih.
Cak Imin, begitu ia biasa dipanggil, pasti tahu cara yang dilakukannya tak lazim dalam tradisi politik kita. Ia bukan politisi kemarin sore.
Seperti yang disampaikannya dalam Talkshow Rosi Kompas TV Kamis malam (5/4/2018), sebagai politisi ia merasa lengkap. Ia pernah di eksekutif juga pernah di legislatif. Ia juga selalu berada di radar kekuasaan sejak 1999.
Cak Imin juga tentu tahu, politik di Indonesia penuh dengan kejutan di bagian akhir. Kemunculan AHY di Pilkada Jakarta, salah satunya contohnya.
Sementara itu, ada yang sejak lama mengkampanyekan diri sebagai calon presiden, tapi tak jadi apa-apa. Abu Rizal Bakrie yang sebelum 2014 berkampanye sebagai Capres, misalnya, tak pernah mencapai cita-citanya, bahkan untuk posisi cawapres.
Mungkin ia juga telah belajar dari pengalaman Pilkada Jakarta 2017 lalu yang melahirkan tokoh seperti Agus Harimurti Yudhoyono. PKB, partai yang dipimpinnya, ikut memberikan tiket kepada AHY sebagai calon gubernur.
Kini ia ingin tiket itu ia pegang sendiri. AHY yang dulu didukungnya, kini jadi salah satu rivalnya di bursa cawapres.
Cawapres Jokowi?
Pertanyaannya, apakah Cak Imin akan membawa keuntungan bagi Jokowi? Seberapa berpengaruh sosok Cak Imin yang dianggap mewakili Nahdlatul Ulama dalam mendongkrak elektabilitas Jokowi?
Menurut Direktur Indicator Politik Burhanuddin Muhtadi, Jokowi relatif tidak punya "masalah" dan punya nilai jual di basis warga NU. Jika lawan Jokowi memilih NU sebagai Cawapres, barulah representasi NU dibutuhkan untuk memperkuat elektabilitas Jokowi.
Dengan kata lain, secara elektoral Muhaimin sebenarnya lebih pas untuk menjadi pendamping Prabowo.
Pasca-Pilkada Jakarta 2017, politik identitas berdasar agama menjadi persoalan penting dalam politik Indonesia. Ia menjadi semacam pertimbangan elektoral elit dalam memutuskan capres/ cawapres.
Pada pemilu-pemilu sebelumnya isu agama ini juga jadi isu. Tapi kali ini, meminjam bahasa Burhanudin Muhtadi, sentimen agama tengah mengalami inflasi.
Catatan penting lain bagi Muhaimin untuk menggapai cita-citanya menjadi pendamping Jokowi adalah menaklukkan 5 partai koalisi yaitu Golkar PDI-P, Nasdem, Hanura, dan PPP. Apakah kelima partai itu rela memberi restu?
Memberikan tiket pada Muhaimin sama dengan memberi gerbong kereta bagi PKB di Pemilu 2024.
Sekarang mungkin Cak Imin baru bisa dikasih gelar “cawapres spanduk”, tapi rejeki dan keberuntungan, siapa tahu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.