JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Hermono mengatakan, banyak kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang jadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berujung buntu alias tidak diteruskan ke proses hukum.
Alasannya, karena pelaku yang terlibat TPPO itu mayoritas merupakan orang dekat TKI itu sendiri. Hal ini membuat para TKI yang menjadi korban enggan meneruskan laporannya kepada penegak hukum.
Hal tersebut disampaikan Hermono dalam jumpa pers "Pengiriman TKI ke Luar Negeri, Peluang Sejahtera Bertaruh Nyawa" bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang diselenggarakan di Kantor LPSK, di Cijantung, Jakarta Timur, Kamis (5/4/2018).
Baca juga : LPSK: TKI Paling Rentan Jadi Korban Perdagangan Orang
"Hampir seluruhnya kasus-kasus yang pemberangkatan secara non-prosedural, yang potensial ada unsur TPPO, yang melakukan perekrutan orang dekat. Ada orangtua, paman, kepala desanya. Jadi waktu didorong buat laporan, dia nolak. Karena pelakunya banyak orang dekat," kata Hermono.
Padahal, korban TPPO berpeluang dieksploitasi atau terjerumus bekerja di dunia terlarang seperti prostitusi.
Kedua TKI itu menjadi korban perdagangan orang. Diduga, yang "menjual" mereka adalah tantenya sendiri.
"Tante sendiri yang jual. Masuk safe house Bambu Apus dia minta pulang. Prosesnya (hukum) dia (korban) enggak tahan," ujar Hermono.
Dia mengatakan, tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia memang rentan menjadi korban perdagangan orang. Khususnya, mereka yang hendak bekerja menjadi asisten rumah tangga di luar negeri.
Baca juga : Anies: Ditemukan Praktik Prostitusi dan Perdagangan Orang di Alexis
Pelaku yang merekrut korban memanfaatkan faktor kemiskinan keluarga TKI. Biasanya, korban berangkat karena orangtuanya telah diberi uang oleh pelaku.
Kisaran uang yang diberikan perekrut kepada keluarga korban bervariasi mulai dari Rp 500.000, Rp 5 juta, hingga Rp 10 juta.
"Ini persoalannya adalah korban tahu kalau dia diproses hukum, akan terseret keluarga sendiri. Makanya dia, 'Sudah, Pak' (tidak melapor)'" ujar Hermono.
BNP2TKI tidak memiliki data TKI non-prosedural karena memang mereka berangkat melalui cara ilegal. Diperkirakan, dari sekitar 2,7 juta TKI di Malaysia, 54 persennya ilegal.
Sementara, dari 700.000 TKI yang diperkirakan ada di Arab Saudi, sekitar 400.000 di antaranya ilegal.
"TKI yang berangkat non-prosedural ini sangat mungkin memenuhi syarat TPPO. Bahkan, yang berangkat secara prosedural pun, bisa nyerempet-nyerempet ke (kasus) TPPO," ujar Hermono.