JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) masih rentan menjadi korban.
Hal tersebut disampaikannya dalam jumpa pers "Pengiriman TKI ke Luar Negeri, Peluang Sejahtera Bertaruh Nyawa" yang diselenggarakan di kantor LPSK, di Cijantung, Jakarta Timur, Kamis (5/4/2018).
Abdul mengatakan, peluang TKI menjadi korban tidak hanya di tempat tujuan bekerja, tetapi tak jarang sudah ada sebelum mereka berangkat kerja. Misalnya, TKI tersebut menjadi korban saat proses rekrutmen dimana seringkali data-data seperti identitas diri mereka dipalsukan agar bisa berangkat.
"Terkadang di TKI ini jadi korban pada saat akan berangkat, mereka sudah jadi korban," kata Abdul.
(Baca juga: LPSK: TKI Paling Rentan Jadi Korban Perdagangan Orang)
Pelaku yang mengirimkan TKI, lanjut Abdul, punya keahlian memanipulasi data sehingga calon TKI tetap bisa lolos ke luar negeri. Untuk menghindari itu dia menilai perlunya pengetatan dalam proses rekrutmen.
Abdul mencontohkan kasus TKI Erwiana. Dia merupakan TKI yang mengalami kekerasan oleh majikannya di Hongkong tahun 2013.
Selain menjadi korban di Hongkong, ternyata surat-surat Erwiana juga dipalsukan oleh pihak yang memberangkatkannya, termasuk paspornya.
Layanan pemenuhan hak prosedural yang LPSK berikan kepada Erwiana adalah bantuan kepengurusan paspor Erwiana.
Sebab, lanjut Abdul, sebelumnya pihak Imigrasi keberatan untuk memperpanjang paspor Erwiana karena identitasnya sempat dipalsukan. Sementara paspor tersebut dibutuhkan karena terkait dengan keperluan proses hukum di Hongkong.
"Itu salah satu contoh bagaimana perubahan identitas tadi, nama diubah, usia diubah dan begitu ada kasus di sana jadi problem. Karena ketika masuk sidang identitas harus asli. Itu contoh bagaimana upaya penjahat jerat TKI ini enggak main-main," ujar Abdul.
(Baca juga: Dianggap Ingin Jadi TKI Ilegal, 81 Pemohon Paspor Ditolak Kantor Imigrasi)
Perjuangan hukum Erwiana membuahkan hasil di mana pada 22 Desember 2017 lalu, pengadilan di Hongkong mengabulkan tuntutan restitusi (ganti rugi) dari Erwiana sebesar 809.430 Dolar Hongkong atau setara nyaris Rp 1,4 miliar.
Putusan ini menambah hukuman yang diterima majikan Erwiana, yang sebelumnya sudah divonis 6 tahun penjara.
Beragam
Adapun di negara tujuan, tindak pidana yang mengancam TKI lebih beragam. Misalnya kekerasan ataupun eksploitasi terhadap mereka.
Ada TKI yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja yang dijanjikan kepada mereka. Ada juga yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
(Baca juga: Kenapa NTT Terus Saja Panen Jenazah TKI dari Malaysia?)
Atas beberapa kasus di mana TKI menjadi korban, LPSK melakukan beberapa layanan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Di antaranya layanan rehabilitasi, baik medis maupun psikologis. Layanan ini penting agar trauma korban bisa dipulihkan.
Karena luka yang dialami TKI yang menjadi korban kekerasan, kadang butuh penanganan yang tidak singkat. Seperti Erwiana yang masih menjalani rehabilitasi wajah hingga sekarang atau sudah hampir lima tahun sejak kasus mencuat.
Selain pendampingan dan hak prosedural, Erwiana juga mendapatkan rehabilitasi medis yang didapatnya dari LPSK.