TRAGEDI 9/11 telah membuktikan pesawat sipil dapat diubah menjadi senjata mematikan oleh teroris. Guna mencegah kejadian serupa, pengelola bandara di seluruh dunia kemudian mereformasi sistem keamanan bandara (airport security).
Merespons perkembangan teknologi serta ancaman teror, sebagian menganggap penggunaan body scanner sebagai salah satu solusi. Hanya dalam hitungan detik, benda tersebut mampu mengungkapkan seluruh benda yang melekat pada tubuh penumpang.
Dibandingkan dengan metal detector yang akan berbunyi "bip-bip-bip" saat mendeteksi logam, body scanner memiliki tingkat akurasi yang jauh lebih baik mengingat kemampuannya untuk mendeteksi non-logam serta menunjukkan letak benda tersebut pada tubuh penumpang.
Keberadaan body scanner naik daun pasca-kegagalan bom bunuh diri pada penerbangan Northwest Airlines 253 rute Amsterdam-Detroit dipenghujung tahun 2009. Pelaku berhasil mengelabui sistem keamanan bandara Schiphol dengan menyembunyikan 80 gram bubuk PETN pada pakaian dalamnya. Untungnya, racikan gagal meledak. Sistem keamanan bandara yang saat itu bergantung pada metal detector nyatanya sudah tertinggal jauh.
Body scanner juga terbukti meningkatkan efektivitas proses pemeriksaan di bandara. Maka tidak heran jika banyak bandara kemudian beralih menggunakan body scanner sebagai salah satu pilar terpenting dalam sistem keamanan bandara pasca-Tragedi 9/11.
Isu privasi
Bekerja dengan memotret tubuh manusia, hasil pemindaian tersimpan dalam bentuk data digital. Pada titik inilah perdebatan mengenai privasi bermula, yakni sejauh mana pengelola bandara dapat menjamin data tersebut diproses hanya untuk tujuan keamanan dan tidak jatuh ke tangan yang salah.
Pengalaman dari belahan dunia lain dapat menguatkan keberadaan body scanner layaknya pedang bermata dua. Sejak mulai diperkenalkan di Korea Selatan pada tahun 2010, Komnas HAM di Negeri Gingseng sangat kritis akan potensi pelanggaran privasi.
Alhasil, benda tersebut sempat digunakan secara terbatas, tepatnya hanya bagi penumpang yang memiliki catatan (kriminal) khusus.
Sementara di Jepang, diperkenalkan pada tahun yang sama, penggunaan body scanner tidak luput dari terjangan isu privasi. Hasil pemindaian nyatanya menghasilkan gambar dengan lekukan tubuh terlihat jelas. Merespon temuan tersebut, kebijakan untuk menggunakan body scanner ditinjau ulang.
Kasus lebih parah terjadi di Nigeria pada tahun 2010. Para petugas keamanan bendara yang bernaung di bawah Federal Airports Authority of Nigeria (FAAN) tertangkap basah memanfaatkan body scanner untuk mengintip penumpang. Sayangnya, sumbangan Amerika Serikat yang ditujukan untuk menangkal ancaman teroris itu malah disalahgunakan.
Menyadari ancaman nyata terhadap privasi, tidak luput Vatikan ikut mengomentari. Paus Benediktus XVI mewanti-wanti penggunaan body scanner yang berpotensi merendahkan martabat manusia.
Beberapa kasus penolakan pemeriksaan sempat terjadi di bandara, seperti calon penumpang di Manchester Airport yang menolak dipindai body scanner dengan alasan melanggar kepercayaan yang dianutnya.
Melirik praktik di Eropa, penggunaan body scanner bersifat opsional dan bukan merupakan suatu kewajiban. Belanda dan Inggris mendukung, sementara Jerman cenderung menolak.