JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai, selama ini pihak berkuasa masih menganggap buruh sebagai lumbung suara.
Partai politik maupun pasangan calon kepala daerah, legislatif, hingga calon presiden mendekati kaum buruh dan mengumbar janji hanya untuk memperoleh simpati dari buruh.
"Kami buruh selalu dijadikan lumbung suara. Tapi kita lihat beberapa kali ganti rezim, belum mengedepankan bagaimana kepentingan rakyat," ujar Nining dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (31/3/2018).
(Baca juga: KSPI Minta Jatah Menteri pada Capres yang Ingin Diusung di Pemilu 2019)
Nining mengatakan, anggapan tersebut dirasakan sejak rezim orde baru. Indonesia memang sudah merdeka, namun belum berdaulat di beberapa aspek. Termasuk kesejahteraan.
Pihak yang berkepentingan berharap dirinya didukung oleh buruh, namun tidak mengedepankan apa sejatinya kepentingan buruh.
"Ketika sudah dapat kursi, rakyat ditinggalkan. Hal ini masih dirasakan," kata Nining.
Ia mencontohkan ditekennya dua peraturan pemerintah di era Presiden Joko Widodo, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan Nomor 36 Tahun 2016 tentang magang.
"Itu semakin membuat keterperosokan kaum buruh," kata Nining.
(Baca juga: Kemenaker Jelaskan Mengapa PKB Penting bagi Buruh dan Pengusaha)
Ia mengatakan, dalam PP 78, ditentukan bahwa upah naik berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Hal ini berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Apalagi ditambah penghapusan subsidi. Bukannya meningkatkan kesejahteraan, justru ada upaya mengkriminalisasi buruh yang kritis pada pemerintah.
"Buruh pabrik semen Gresik di Jawa Timur, di rezim Jokowi-JK pertama kalinya anggota kami dipenjara. Di Tangerang dikriminalisasi hanya karena mengkritik," kata Nining.