JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch ( ICW) Almas Sjafrina menilai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana kasus korupsi ikut dalam Pemilihan Legislatif 2019 merupakan sebuah langkah progresif.
Sebab, rencana ini bisa mewujudkan pemilu yang demokratis sekaligus berintegritas.
"Bahkan, jangan cuma mantan narapidana tapi juga calon-calon dengan status hukum tersangka atau terdakwa kasus korupsi," kata Almas kepada Kompas.com, Jumat (30/3/2018).
Di sisi lain, Almas juga mendukung kewajiban caleg untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam Pileg 2019.
Ia menilai kewajiban ini sejalan dengan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Baca juga : Parpol Harus Tempatkan Kader-Kader Berintegritas dalam Pileg 2019
"Ini sesuai dengan undang-undang yang mengatur penyelenggara negara bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan sesudah menjabat," ungkap dia.
Seperti yang diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan mengatur larangan mengenai mantan narapidana kasus korupsi untuk ikut dalam pemilu legislatif (pileg) 2019.
Komisioner KPU RI, Hasyim Asyari mengatakan, pelarangan itu akan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pileg mendatang untuk pertama kalinya.
Sebenarnya di Undang-undang tidak ada, mantan narapidana kasus korupsi dilarang nyaleg, di PKPU pencalonan mau kita masukkan," kata Hasyim di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Baca juga : Parpol Diharapkan Dukung Rencana Kewajiban Serahkan LHKPN dalam Pileg 2019
Menurut Hasyim, mantan narapidana kasus korupsi tidak layak menduduk jabatan publik. Alasannya, karena telah berkhianat terhadap jabatan sebelumnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan