JAKARTA, KOMPAS.com - Chairman Sustainable Development Indonesia sekaligus anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H Wibowo menuturkan bahwa saat ini ketimpangan penguasaan lahan menjadi isu penting dalam menjalankan agenda reforma agraria.
Hal itu dia ungkapkan dalam menggapi polemik kritik Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais soal pembagian sertifikat yang dilakukan Presiden Joko Widodo.
"Intinya Pak Jokowi bagi-bagi sertifikat itu memang harus dilakukan tapi jangan hanya itu. Masalahnya adalah ketimpangan penguasaan lahan," ujar Dradjad saat menggelar konferensi pers di ruang Fraksi PAN, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
(Baca juga: PAN: Kritik Amien Rais soal Sertifikat Tanah Bergeser Jadi Isu Politis)
Menurut Dradjad angka rasio gini lahan tertinggi terjadi pada tahun 2013. Ia memaparkan data Hasil Riset Oligarki Ekonomi dari Megawati Institute yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil riset tersebut menyatakan rasio gini ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia terus meningkat dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pada masa Orde Baru.
Rasio gini lahan di Indonesia pada tahun 1973 berada pada angka 0,55. Pada tahun 1983 rasio sempat menurun di angka 0,5.
Pada tahun 1993 rasio meningkat menjadi 0,64. Kemudian pada tahun 2003 rasio gini lahan mencapai 0,72 dan menurun menjadi 0.68 pada tahun 2013.
Dradjad menjelaskan, jika rasio gini menunjukkan angka tinggi maka artinya semakin tinggi pula tingkat ketimpangannya.
"Tahun 1973 sampai 1993 itu kan periode Pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 2003 Pemerintahan Megawati Hamzah Haz dan tahun 2013 itu pemerintahan SBY-Boediono," ucapnya.
(Baca juga: Bantah Amien Rais, Maruf Sebut Kebijakan Bagi-bagi Sertifikat Tanah Memudahkan Warga)
"Jadi data Megawati Institute sendiri menunjukkan, data ini sumbernya dari BPS, jadi data ini terlihat bahwa ketimpangan lahan yang tertinggi itu terjadi pada tahun 2003," kata Dradjad.
Selain itu ia juga menyoroti program redistribusi tanah yang dinilai belum menjadi fokus utama. Sementara redistribusi tanah merupakan komponen terpenting reforma agraria.
Dradjad mengatakan, dalam periode 2015-Agustus 2017 terdapat 245.097 bidang tanah redistribusi yang mendapat sertifikat. Artinya angka itu hanya 8,5 persen dari jumlah sertifikat.
"Bagi-bagi sertifikat belum bisa dimasukkan ke dalam reforma agraria. Sertifikat itu hasil akhir dari problem penguasaan lahan. Seharusnya bagi-bagi sertifikat berasal dari redistribusi tanah," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.