JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan Pemerintah. Sebab, beberapa pasal di dalamnya dianggap kontroversial dan tidak bisa diterima masyarakat.
Apalagi, pembahasan RKUHP tidak melibatkan pihak-pihak yang merasakan langsung dampak rumusan tersebut.
Koordinator Advokasi Kasus LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim mengatakan, salah satu poin yang dikritisi adalah soal bangkitnya pasal penghinaan presiden. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah membatalkan aturan tersebut.
"Dihidupkannya kembali rumusan pasal ini bukan saja tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi," kata Afif melalui keterangan tertulis, Kamis (29/3/2018).
Baca juga : Polemik RKUHP, dari Menjerat Ranah Privat sampai Mengancam Demokrasi
Selain itu, kata Afif, ada dualisme hukum terkait narkotika jika RKUHP diberlakukan. Sebelumnya sudah ada undang-undang yang mengatur narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009). Dualisme regulasi itu dianggap dapat melahirkan ketidakpastian hukum dalam mengatur persoalan pengguna narkotika.
Dalam UU 35/2009, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika dijamin. Undang-undang tersebut memang masih dominan dalam memilih penjara sebagai jenis hukuman bagi pengguna narkotika. Namun, diatur juga jaminan pengguna narkotika mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatan melalui rehabilitasi.
"RKUHP akan membutuhkan banyak waktu dan anggaran untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pengguna narkotika karena perlunya dibentuk aturan turunan," kata Afif.
Baca juga : Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Dinilai Membangkangi Konstitusi
Akibatnya, RKUHP malah semakin melanggengkan penjara sebagai hukuman yang harus diterima oleh pengguna narkotika. Jika hal ini tak diperhatikan, maka bisa menyebabkan penghuni penjara yang makin didominasi oleh pengguna narkotika.
Afif mengatakan, masuknya narkotika ke RKUHP menunjukan tidak terencananya legislasi, baik di Pemerintah dan DPR. Sebab, di saat yang sama, ada juga rencana melakukan revisi UU 35/2009.
Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika berdampak juga terhadap laju epidemi HIV yang semakin tidak terkendali. Jauh sebelum adanya RKUHP ini, kata Afif. telah muncul hambatan dalam menekan penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkotika.
Kriminalisasi pengguna narkotika membuat pengguna narkotika enggan untuk mengakses layanan kesehatan. Pengguna menjadi khawatir dengan layanan jarum suntik steril karena takut dirinya ditangkap karena sekedar membawa jarum suntik.
"Meski saat ini tren penggunaan narkotika beralih dari heroin ke sabu (metamphetamin), masih ditemukan kasus-kasus di mana sabu disuntikan juga meningkatnya hubungan seks yang berisiko yang memiliki hubungan dengan penggunaan sabu," kata Afif.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.