Terlebih lagi, di Afghanistan kultur tasawuf sangat kental. Negeri itu punya akar sejarah tasawuf yang demikian kokoh, dengan beragam dinamikanya. Kultur ini selaras dengan apa yang dimiliki NU, yaitu tradisi tasawuf yang berkelindan dengan nilai-nilai pesantren.
Titik kesamaan inilah yang membuat ulama dan aktor masing-masing kabilah di Afghanistan mau menerima delegasi NU dalam pertemuan-pertemuan awal untuk membincang perdamaian.
Dalam sebuah perbincangan dengan Dr Ichasan Malik, inisiator perdamaian dalam konflik Poso dan Ambon, saya bertanya bagaimana peluang Indonesia untuk menjadi bagian dari juru damai konflik internasional. Menurut beliau, modal sosial Indonesia lebih dari cukup untuk menginjeksi nilai-nilai kearifan di tengah meningkatnya eskalasi politik dunia.
"(Karena) semua konflik di dunia itu pernah ada di Indonesia. Pola yang hampir sama terjadi di negeri kita. Kita tengok konflik Kosovo, Bosnia, Timur Tengah, Afghanistan, hingga konflik Palestina-Israel, pola yang hampir sama pernah terjadi di negara kita. Dari konflik agama, etnis, komunitas, dan antar-komunitas, semuanya pernah terjadi (dan bisa dilewati)," ungkap Ichsan Malik, di kantor Litbang Kompas, Palmerah, beberapa waktu lalu.
Saat ini, inisiasi perdamaian di Afghanistan sudah melangkah jauh menuju level yang lebih baik. Meski, demi mencapai damai itu harus membayar mahal dengan wafatnya Syaikh Burhanuddin Rabbani serta beberapa risiko yang ditanggung oleh ulama Afghanistan.
Di tengah kemelut konflik, perdamaian menjadi sesuatu yang mahal. Tanpa harus menunggu terkoyak konflik terlebih dahulu, bukankah kita mesti bercermin dari kondisi Afghanistan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.