Ke-16 warga Jepang itu diterbangkan dari Lanud Adisutjipto, Yogyakarta, ke Lanud Halim Perdanakusuma. Di tahun 1965 Lanud Halim masih steril dari kegiatan penerbangan komersil.
Mereka diterbangkan dengan pesawat fighter dan bomber AURI. Perlu beberapa kali pergi-pulang karena satu pesawat hanya mampu membawa satu atau dua orang.
Saya tidak begitu yakin dengan ceritanya tentang pesawat fighter dan bomber yang disebut-sebut digunakan untuk operasi evakuasi tersebut. Tetapi, Bapak Toshimitsu dengan yakin mengatakan bahwa dia tahu betul bahwa itu adalah pesawat jenis fighter dan bomber.
Kemungkinan besar, bisa saja yang dimaksud adalah beberapa pesawat latih antara pesawat T-34A Mentor yang merupakan pesawat latih di Sekolah Penerbang AU di Joggyakarta.
Atau mungkin, bisa saja juga yang dimaksud dengan pesawat bomber adalah B-25 Mitchel yang dimiliki Angkatan Udara saat itu. Pesawat tersebut masih digunakan saat Operasi Seroja di Timor-timur tahun 1970-an.
Toshimitsu menutup ceritanya dengan mata berkaca-kaca menahan haru. Ia mengatakan, dirinya dan teman-temannya berhutang budi kepada Angkatan Udara Indonesia yang disebutnya sangat tulus menyelamatkan mereka.
Mereka tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya mendapat informasi bahwa sedang terjadi “kudeta”.
Di Lanud Halim mereka dijemput oleh petugas Kedutaan Besar Jepang dan dipulangkan ke Tokyo dengan selamat. Dua tahun setelah itu mereka kembali ke Indonesia, ke Yogyakarta, untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai.
Itulah cerita Toshimitsu Morita dan teman-teman saat makan siang di sebuah restoran sushi di tengah keramaian kota Tokyo pada pertengahan Maret yang dibalut suhu dingin 5 hingga 10 derajat celcius.
Walahualam bisawab.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.