JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di MPR Arwani Thomafi menyampaikan protes terkait penambahan kursi wakil ketua MPR bagi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Protes tersebut disampaikan dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Kelompok DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Menurut Arwani, berdasarkan Pasal 427A huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, PKB tidak berhak menduduki kursi pimpinan MPR.
"Soal keresahan publik khususnya terkait Pasal 427 UU MD3, sikap ini kami sampaikan tidak ada niat tidak suka dengan orang-orang yang ingin menjabat pimpinan MPR. Ini murni kami sampaikan untuk menjaga semangat kebersamaan," ujar Arwani.
Adapun, penambahan kursi pimpinan MPR untuk PKB itu akan diisi oleh Muhaimin Iskandar, yang juga menjadi ketua umum PKB.
(Baca juga: Polemik PPP-PKB soal Kursi Pimpinan MPR, Tafsir Perolehan Suara Jadi Sorotan)
Pasal 427A huruf c UU MD3 menyatakan, penambahan kursi wakil ketua MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam Pemilu 2014 urutan ke-1, urutan ke-3, serta urutan ke-6.
Arwani mengatakan, dalam sistem kepemiluan, frasa "perolehan suara" dalam pasal tersebut tidak bisa diartikan sebagai "perolehan kursi".
Dalam perolehan suara Pemilu 2014, partai yang meraih suara tertinggi yakni PDI-P (18,95 persen). Sementara urutan ketiga yakni Partai Gerindra (11,81 persen) dan urutan keenam yakni PAN (7,59 persen).
Jika dilihat dari segi perolehan kursi terbanyak, PKB memang menempati posisi ke-6. Namun, yang tertera dalam UU MD3 didasarkan pada perolehan suara terbanyak.
(Baca juga: Meski PPP Keberatan, Penambahan Kursi Pimpinan MPR untuk PKB Tetap Dilakukan)
Dengan demikian, Arwani memandang jatah satu kursi wakil ketua MPR tidak bisa diberikan kepada PKB.
"Teman-teman yang pernah terlibat dalam Pansus RUU Pemilu paham benar suara dan kursi itu berbeda, bukan hal yang sama terutama dalam konteks Undang-Undang Pemilu. Ada suara terbanyak dan ada kursi terbanyak," kata Arwani.
Selain itu, menurut Arwani, implementasi Pasal 427A huruf c seharusnya memakai tafsir perolehan suara.
Sebab, kata Arwani, jika memakai perolehan kursi, ada kemungkinan partai yang memiliki perolehan kursi di DPR yang sama. Sementara, kemungkinan tersebut tidak akan terjadi jika perolehan suara di DPR ditafsirkan sebagai perolehan suara nasional.
"Kenapa perolehan suara karena sedikit kemungkinan adanya draw. Tapi kalau menggunakan tafsir perolehan kursi sangat mungkin ada partai yang sama. Itu kenapa dihindari," ucap Arwani.