JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan data yang dikeluarkan Economy Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia kini mengalami penurunan dari segi hak sipil, dan juga dalam hak elektoral.
"Hak elektoral dan pluralisme di Indonesia mengalami kemerosotan. Salah satunya dipicu oleh kasus Ahok, adanya kecenderungan yang tinggi untuk tidak memilih pemimpin berdasarkan agama yang berbeda maupun pemenjaraan Ahok itu sendiri," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam diskusi bertajuk "Catatan Reflektif 20 Tahun Kontras, 20 Tahun Reformasi" di Kantor Kontras, Jakarta, Senin (19/3/2018).
(Baca juga: Merawat Perjuangan HAM Melalui Generasi Milenial)
Diperkirakan, jelang pesta demokrasi, salah satu tantangan terberat dalam perjuangan hak asasi manusia (HAM) adalah potensi peningkatan radikalisme.
Ia mengungkapkan, persoalan radikalisme telah menjadi salah satu isu keamanan utama pemerintah hingga saat ini, dimulai sejak era mantan Presiden Megawati Soekarnoputri saat menanggulangi insiden Bom Bali tahun 2002.
"Itu adalah prioritas Megawati dalam bidang keamanan, terutama menyikapi Bom Bali yang juga dipicu akibat penyerangan 11 September 2001," ujar Usman.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Koordinator Kontras Haris Azhar. Ia khawatir konsep hak asasi manusia akan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu jelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Hal itu akan berujung pada egoisme kelompok tertentu yang bisa memicu konflik horizontal di kalangan masyarakat.
"Situasi ini nanti dugaannya akan mencapai titik kulminasinya di pemilu tahun depan. Ketika kelompoknya dirugikan dibilang ngaku korban HAM. Tapi ketika kelompok itu menimbulkan korban HAM, enggan mengakui," kata Haris.
(Baca juga: Franz Magnis Berharap Jokowi Fokus Berantas Korupsi dan Selesaikan HAM Masa Lalu)
Haris juga meminta agar konsep HAM tak sekedar dijadikan alat kepentingan kelompok atau sekedar janji manis kandidat dalam kampanye jelang pemilihan.
Politisasi SARA
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja Kontras Yati Andriyani mengungkapkan, politisasi suku, agama, ras dan antar golongan telah terbukti menimbulkan dampak yang buruk dalam keberlangsungan demokrasi.
"Ini sudah kita alami bagaimana isu SARA menjadi medium untuk mendapatkan suara. Kemudian terkait penyebaran berita bohong dan juga sejumlah kekerasan yang terjadi pada proses elektoral," kata Yati.
(Baca juga: Aktivis HAM dan Buruh Migran Indonesia Kecam Arab Saudi yang Eksekusi Mati Misrin)
Hal tersebutlah yang membuat aktor-aktor pelanggaran HAM menjadi semakin banyak dan membuat agenda perjuangan HAM menjadi jalan di tempat. Yati menilai, persoalan HAM yang terjadi di dalam masyarakat justru akan memunculkan dampak yang cukup berbahaya.
Sehingga, seluruh elemen masyarakat harus bersinergi dan mengesampingkan egoismenya untuk melawan berbagai aksi radikalisme dan upaya pecah belah masyarakat yang dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu.