Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir menambahkan, program ini sebenarnya pernah diterapkan di Indonesia. Salah satunya di era 1980-an. Nasir mengalaminya sendiri sebagai mahasiswa penerima student loan.
"Dulu tahun 1985 saya pernah ikut student loan. Kalau dulu tidak ada bunga, setelah bekerja 2 atau 3 tahun, langsung saya bayar lunas. Pinjamannya kalau enggak salah Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Zaman itu, duit segitu gede banget," ujar Nasir.
(Baca juga: Antisipasi Revolusi Industri 4.0, Pemerintah Benahi Pendidikan Vokasi)
Program seperti itu sangat membantu mahasiswa, khususnya mahasiswa tingkat akhir yang tak lagi dibiayai orangtua.
"Saya pada prinsipnya senang sekali kalau ada student loan. Itu mempercepat kelulusan mahasiswa tingkat akhir yang terhambat karena enggak punya uang untuk praktik, untuk riset. Kalau ada dana itu, sangat menyelesaikan masalah," ujar Nasir.
Namun, ada beberapa persoalan sehingga program tersebut terpaksa dihentikan. Salah satunya, tidak sedikit mahasiswa yang tidak membayar tanggungannya.
"Rata-rata enggak bayar semua. Ijazah memang ditahan, tetapi mereka enggak butuh ijazahnya karena dia cukup fotokopi dan legalisasi. Nah, ijazah legalisasinya itu yang dibawa ke mana-mana," ujar Nasir.
Nasir memastikan, potensi persoalan dalam program student loan telah ditelaah kementerian bidang perekonomian. Bersama-sama Kementerian Keuangan, rencana program tersebut akan dikaji agar tepat sasaran dan tetap memungkinkan berjalan dari sisi bisnis perbankan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.