Publik tak sadar, hasil Pilkada DKI tidak serta-merta menjadi indikator awal kemenangan pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Mengapa?
Pertama, meski ramai dan menyita perhatian secara statistik, jumlah pemilih di Jakarta terlampau kecil jika dibandingkan wilayah lain.
Kedua, kinerja Gubernur DKI terpilih, baik berhasil ataupun gagal, adalah etalase bagi pemilih di daerah untuk menentukan pilihannya. Hal ini sudah terbukti pada Pilkada 2015 ketika pemilih daerah menjadikan pesona Jokowi sebagai representasi harapan masyarakat.
Pada sisi lain, keberhasilan Golkar dalam menguasai peta politik Tanah Air pada Pilkada 2017 membuat masuk akal bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih tutup mata dan telinga terhadap status Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian yang saat ini adalah Ketua Umum Golkar.
Tidak cukup itu saja, demi menjamin Golkar tetap dekat, ditambahkan pula menteri yang berasal dari Golkar. Bukan dari PDI-P yang notabene adalah partai asal Jokowi, atapun partai-partai koalisi yang lain.
Dukungan Golkar penting karena tahun ini digelar pilkada serentak di 171 daerah. Golkar ikut serta dalam 17 pilkada provinsi, 115 pilkada kabupaten, dan 39 pilkada kota.
Menariknya, dari sejumlah wilayah yang diikuti, khususnya di tingkat pilkada provinsi rupanya mayoritas wilayah justru menampilkan kontestasi antara PDI-P dan Golkar.
Saya mencatat kontestasi kedua partai pemenang Pilkada 2015 dan 2017 antara lain terjadi di wilayah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Hanya tiga wilayah provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah yang menyajikan koalisi kedua Golkar dan PDI-P. Tiga wilayah yang saya yakini, asal tidak terjadi kondisi khusus serupa Pilkada DKI, akan dengan mudah dimenangkan dalam satu putaran.
Apakah perlu berharap kemenangan Golkar terjadi pada pilkada serentak tahun ini? Saya menilai tentu saja penting karena hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi Joko Widodo sebagai petahana untuk maju sebagai capres dalam Pemilu 2019.
Sebagai partai pendukung, Golkar terbilang kendaraan yang siap dan aman untuk ditunggangi. Selain andal, sejarah pun mencatat hingga saat ini Golkar tidak pernah mengganggu mitra koalisinya untuk menggapai posisi presiden. Asalkan jatah posisi kabinet bagi Golkar tetap ada.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.