JAKARTA, KOMPAS.com - Bukan rahasia lagi konten ujaran kebencian dan hoaks kini menjadi lahan bisnis baru untuk mendapatkan uang instan. Pendapatan yang diperoleh juga tidak sedikit.
Contoh saja, kelompok Saracen yang modusnya terungkap pada 2017 lalu. Mereka memasang harga Rp 70-an juta di proposal untuk menyebarkan konten-konten ujaran kebencian, hoaks, dan diskriminasi SARA lewat media sosial.
Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto pun mengakui bahwa produksi konten hoaks menjadi bisnis yang menggiurkan di dunia, termasuk Indonesia.
(Baca juga: Hasrat Berkuasa Dinilai Jadi Pendorong Merebaknya Hoaks di Tahun Politik)
Wawan mengatakan, salah satu wartawan Washington Post pernah mewawancarai salah satu produsen konten hoaks.
"Pembuat berita palsu di Facebook Paul Horner mengaku mendapatkan penghasilan 10.000 dollar AS perbulan atau sekitar Rp 135 juta," ujar Wawan dalam diskusi di Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Sementara di Indonesia, selain Saracen, ada pula portal berita yang diketahui memproduksi pesanan konten hoaks. Media tersebut adalah Pos Metro dan Nusanews.
Wawan mengatakan, menurut LSM Masyarakat Anti-hoaks, situs-situs tersebut bisa memperoleh keuntungan Rp 600 hingga Rp 700 juta pertahun.
Mereka bisa begitu laku karena warganet juga menggemari konten-konten tersebut, tanpa peduli apakah itu berita benar atau tidak.
"Pemberitaan yang salah seringkali menampilkan judul yang mengunggah emosi. Sehingga menarik minat pembacanya," kata Wawan.
Masifnya penyebaran hoaks di media sosial mempengaruhi tindakan dari rasa percaya pada berita yang tidak benar.
Menurut Wawan, fakta tidak begitu mempengaruhi opini publik ketimbang emosi dan keyakinan personal. Artinya, penyebar hoaks punya pengaruh lebih besar dari fakta sebenarnya.
(Baca juga: Generasi Milenial Dianggap Paling Rentan Dipengaruhi Hoaks)
"Jika terus dimunculkan, maka berita hoaks bisa dianggap benar," kata Wawan.
Pembuktian sulit
Sementara itu, wartawan senior Budiarto Shambazy, menyebut bahwa penyebar konten hoaks di Amerika Serikat juga ditindak secara hukum. Namun, pembuktiannya sangat sulit.
Saat ini, di sana, ada penuntutan terhadap 13 warga negara Rusia serta entitas perusahaan Rusia di AS. Mereka merupakan operator yang kerjanya setiap hari memprodukai hoaks.
Salah satu korban hoaksnya adalah Hillary Clinton saat bertarung melawan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2016 lalu.
"Mereka membuat konten menarik, Paus Fransiskus mendukung Trump. Di-share di Facebook. Mati-matian dibantah Fransiskus bahkan oleh Obama sendiri," kata Budiarto.
(Baca juga: Elite Politik Diminta Berperan Perangi Hoaks, Bukan Mengompori)
Hasil penelusuran diketahui bahwa produsen hoaks dari Rusia itu membuat 100.000 konten perbulan meski tak semuanya dipakai. Bayarannya pun besar, hingga 60.000 dollar AS.
Bahkan, viralnya konten hoaks di sana juga membuat media mainstream kewalahan. Aparat keamanan juga tidak bisa menjerat mereka dengan sanksi berat.
"13 orang ditangkap, aparat keabisan akal. Mereka hanya dikenakan hukuman kecil, yang bisa dibayar pakai jaminan," kata Budiarto.