JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti wacana kodifikasi delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas DPR dan pemerintah.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter mengatakan, draf RKUHP per 2 Februari 2018 tidak memuat ketentuan soal pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang dilakukan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"RKUHP tidak mengakomodasi ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana yang dilakukan," ujar Lalola kepada Kompas.com, Senin (12/3/2018).
Baca juga : Belum ada Terjemahan Resmi KUHP, DPR Diminta Hentikan Bahas Revisi
Menurut Lalola, jika RKUHP disahkan dan tidak memuat ketentuan tersebut, maka tidak menutup kemungkinan pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.
Sebab, hakim akan berpatokan pada delik korupsi yang diatur dalam RKUHP.
Selain itu, lanjut Lalola, kodifikasi delik korupsi berpotensi memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Ia mengatakan, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan.
Pada akhirnya, KPK hanya akan berperan dalam pencegahan korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan.
Baca juga : Belum Ada Terjemahan Resmi KUHP, Presiden Jokowi Disomasi
Kewenangan KPK sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor.
Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, kata Laola, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian.
Sebab, kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.
"Meski pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya. Artinya, KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP," kata Lalola.
Baca juga : Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, ICW menolak wacana pengaturan delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP.
"DPR dan pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas ke dalam RKUHP," kata Lalola.