JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa lembaga swadaya masyarakat mempertanyakan rujukan terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai DPR dan pemerintah dalam pembahasan rancangan KUHP (RKUHP).
Sebab, dari terjemahan KUHP yang ada saat ini bukanlah terjemahan resmi pemerintah, namun terjemahan tidak resmi dari para pakar hukum seperti Andi Hamzah, Mulyanto, Sunarto Surodibroto dan R Susilo.
Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengatakan, dengan tak ada rujukan resmi, maka RKUHP yang dibahas oleh DPR memilki potensi membuat debat pakar hukum kian tajam.
"Pasti karena 70 persen isinya masih sama (dengan yang ada saat ini)," ujar Asfinawati dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (11/3/2018).
(Baca juga : Belum Ada Terjemahan Resmi KUHP, Presiden Jokowi Disomasi)
Asfinawati mengungkap, karena belum ada terjemahan resmi KUHP dari pemerintah, para pakar hukum kerap berdebat tajam terkait satu pasal.
Misalnya, Pasal 55 KUHP yang mengatur digolongkan atau orang yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana.
Menurut Asfinawati, saat ini ada pakar hukum yang menterjemahkan pasal itu dengan dua kata yang berbeda, yakni menganjurkan dan menggerakan. Padahal, dua kata itu memiliki dua nuansa yang berbeda.
"Para ahli hukum bisa berantem luar biasa hanya mempertahankan terjemahan dia mana yang paling benar," kata dia.
(Baca juga : Belum ada Terjemahan Resmi KUHP, DPR Diminta Hentikan Bahas Revisi)
Parahnya lagi, menurut Asfinawati, hal serupa juga menular ke para mahasiswa hukum, bahkan juga menular ke polisi, jaksa hingga hakim.
Tak hanya itu, perdebatan juga terjadi misalnya dalam kasus makar. Pada Wethoek van Strafrecht (WvS) atau KUHP peninggalan Hindia Belanda, konsep makar berlaku kepada raja, bukan pemerintah atau Presiden.
Lantaran hal itu pula, MK membatalkan pasal soal penghinaan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan.
(Baca juga : Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial)
Sebab pada masa Hindia Belanda lalu, pasal tersebut berlaku terhadap raja sebagai simbol negara.
"Jadi itu perdebatan abadi para ahli dan menyebar ke tingkat universitas," ucap Asfinawati.
Karena itu, meminta pembahasan RKUHP di DPR perlu dihentikan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Masyarakat juga mensomasi Presiden Joko Widodo.
Mereka mendesak agar pemerintah segera menetapkan terjemahan resmi KUHP dalam tempo 7 x 24 jam pasca somasi dilayangkan.
Bila tidak, LYBHI, ICJR dan LBH Masyarakat mengancam akan menempuh upaya hukum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.