JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kemendagri, Suhajar Diantoro, mengatakan mahar politik merupakan racun dalam demokrasi.
Ia mengemukakan hal tersebut dalam diskusi publik "Menciptakan Politik Bersih Tanpa Mahar Untuk Indonesia Sejahtera", yang diselenggarakan Gerakan Kasih Indonesia (Gerkindo), di Gedung Joang 45, Meteng, Jakarta Pusat, Sabtu (3/3/2018).
Suhajar mengatakan, praktik demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah melalui pemilihan umum terciderai bila dilakukan dengan mahar politik. Sebab, mahar politik merupakan tindak pidana.
"Mahar politik adalah racun di dalam pelaksanaan demokrasi kita. Ini adalah tindak pidana," kata Suhajar.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada, lanjut Suhajar, sanksi untuk yang melakukan mahar politik jelas, yakni penjara 72 bulan plus denda maksimal Rp 1 miliar.
Namun masih ada yang berani melakukam praktik mahar. Biaya politik, kata dia, memang ada. Namun, hanya pada batasan tertentu hal itu diperbolehkan.
Ia menyadari, bantuan dana untuk partai politik masih kecil. Persentasenya di APBN nilainya hanya 0,016 persen.
"Padahal parpol ini adalah sebuah institusi yang dibangun dan fokus pembangunannya politik dalam negara demokrasi," ujar Suhajar.
Karena itu, sebagai bentuk dukungan dan memperkuat partai politik, pemerintah menaikan dana parpol Rp 108 persuara ke Rp 1.000 persuara.
"Kenapa karena sesungguhnya dalam demokrasi, parpol itu jembatan penghubung antara rakyat dan pemerintah," ujar Suhajar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.