JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Tim Pelaksana Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Laksmanana (Purn) TNI Soemardjono mengingatkan agar setiap pengguna alat pertahanan dan keamanan tidak membeli alutsista lewat agen.
Adapun pihak pengguna yang dimaksud sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan terdiri dari TNI, Kepolisian RI, kementerian atau lembaga non-kementerian, serta pihak-pihak yang diberi izin sesuai ketentuan perundang-undangan.
Menurut Soemardjono, pembelian alutsista melalui agen tersebut menabrak ketentuan undang-undang di mana mengharuskan pembelian alutsista yang diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri.
"Kalau kita mau beli produk luar negeri itu satu, manakala produk di dalam negeri belum dimungkinkan, tetapi harus G to G (government to government) atau G to B (government to business). Kedua, enggak boleh pakai agen, manakala pakai agen ya tabrak undang-undang," ujar Soemardjono dalam acara sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Jumat (2/3/2018)
Soemardjono tak ingin kasus pengadaan alutsista seperti pembelian Helikopter Augusta Westland AW101 yang berujung pada tindak pidana korupsi terulang lagi. Soemardjono juga mengingatkan agar pengadaan alutsista harus mendapatkan perizinan dari KKIP.
(Baca juga: Bertemu Wiranto, Menhas AS Bahas Alutsista hingga Terorisme)
"Jadi kira-kira itu banyak yang ditabrak. Dan itu bukan kewenangan untuk angkatan membeli, membangun kekuatan adalah wewenang menteri pertahanan," kata dia.
Mengenai pembenahan, Soemardjono mengaku tak ada strategi tertentu. Sebab, UU Industri Pertahanan telah mengatur secara jelas terkait dengan prosedur pengadaan maupun produksi alutsista.
"Semua kan sudah diatur undang-undang, KKIP akan mengawal UU ini. Kami dari KKIP berharap jangan sampai terjadi lagi ke depannya," kata dia.
Seperti yang diketahui, dalam kasus korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland AW101 ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas atau pekas Letkol Adm WW.
(Baca juga: Tahun 2018, Alutsista TNI AD, AL, dan AU Bertambah)
Selain itu, staf pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu letnan dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Sementara, KPK menetapkan satu tersangka, yakni Irfan, sebagai pihak swasta. Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan. Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara.