Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Menyoal Ribut-ribut di Langit Kepulauan Riau dan Natuna

Kompas.com - 27/02/2018, 13:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HINGGA saat ini teras rumah kita, yakni ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna atau dikenal sebagai Flight Information Region (FIR) Natuna, masih dikelola Singapura.

Ada sejarah panjang tentang penunjukan pengelolaan ruang udara tersebut oleh International Civil Aviation Organization (ICAO).

Ketika itu, Singapura masih merupakan jajahan Inggris dan Indonesia yang masih muda belia tengah sibuk berjuang mempertahankan kemerdekaannya.

Alhasil, Indonesia absen pada sidang ICAO di Irlandia tahun 1946 dan ini berujung pada penunjukan Inggris sebagai pengelola FIR Natuna.

Saat itu, pengelolaan FIR Natuna merupakan suatu beban bagi negara, mengingat belum banyak pesawat yang melintasi kawasan tersebut. Pelayanan navigasi diselenggarakan untuk lalu lintas penerbangan yang tidak ramai.

Tujuh puluh tahun berselang, FIR Natuna telah menjelma menjadi salah satu ruang udara tersibuk di dunia.

Kini rute Jakarta-Singapura merupakan salah satu rute internasional paling ramai, bahkan telah melampaui rute gemuk London-Paris.

Mengingat letak FIR Natuna yang strategis, masih terdapat banyak penerbangan lain yang melintas guna mencapai benua Asia maupun Australia.

Setiap pesawat melintas di sana dikenakan pungutan, dikenal sebagai Route Air Navigation Service Charges.

Pungutan (charges) ketimbang pajak (taxes) dimaksudkan agar pemasukan dari pelayanan navigasi ruang udara dikembalikan untuk fungsi yang sama.

Hal ini lumrah dan berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia, pungutan tersebut masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Untuk kasus FIR Natuna, jumlah pendapatan per tahun mencapai jutaan dollar AS. Sayangnya, Indonesia hanya mendapatkan "uang sewa" dari Singapura, ibaratnya hanya sepotong kue kecil (lihat Catatan Redaksi di akhir artikel, red).

Bayangkan, betapa besar potensi PNBP jika FIR Natuna dikelola sendiri secara profesional.

Pada September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pengambilalihan pengelolaan ruang udara tersebut dipercepat.

Baca juga : Jokowi Tegaskan Akan Ambil Alih FIR dari Singapura

Instruksi Presiden ditafsirkan agar target dapat tercapai dalam waktu tiga atau empat tahun, tepatnya lebih cepat dari amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menargetkan paling lama tahun 2024.

Mengingat FIR Natuna telah menjadi salah satu tambang emas di udara, sangat logis jika pemerintah Indonesia mengupayakan pengambilalihan secepat mungkin.

Sayangnya, pembubaran Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) pada Desember 2014 memperlambat upaya tersebut.

Baik disadari maupun tidak, absennya Depanri telah mengorbankan waktu untuk mengkaji kementerian mana yang menjadi leading sector yang tepat, serta kehilangan instrumen untuk meredam timbulnya ego-sektoral selama proses berlangsung.

Isu pertahanan, kedaulatan ekonomi, dan hukum

Bagi TNI Angkatan Udara, status quo berarti tidak ada rahasia yang dapat disimpan dari Singapura.

Setiap misi penerbangan pada FIR Natuna akan selalu berada di bawah pengawasan air traffic control (ATC) negara tetangga, termasuk patroli rutin dan upaya penyergapan
penerbangan gelap.

Bahkan, menyalakan mesin pesawat saja harus mendapatkan izin mereka terlebih dahulu.

Lantas bagaimana kita dapat menangkap penerbangan gelap yang dilakukan militer Singapura?

Keadaan akan menjadi lebih genting ketika ATC Singapura menolak izin terbang pesawat TNI AU atau sipil berbendera Indonesia saat kepentingan nasional mendesak (lihat Catatan Redaksi di akhir artikel, red).

Maka, tidak salah bila mendalilkan sektor pertahanan di teras rumah kita sendiri nyatanya begitu keropos.

Imbas lainnya ialah penundaan penetapan Air Defense Identification Zone (ADIZ) di teras Indonesia, tepatnya langit Natuna. Saat ini, keberadaan ADIZ Indonesia tengah dikaji ulang.

Tanpa kontrol efektif atas ruang udara, penetapan ADIZ akan melanggar norma internasional yang hidup serta berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan. Jika dipaksakan, maka berpotensi menjadi senjata makan tuan.

Urgensi pengambilalihan FIR Natuna tidak semata-mata didasari perputaran uang yang semakin besar. Ketertiban umum terpicu ketika salah satu sendi asasi negara, yakni kedaulatan ekonomi, (pengelolaannya) dikuasai asing.

Tentunya, ketertiban umum Indonesia tidak terpicu dalam semalam. Akan berbeda kondisinya jika dibandingkan dengan setengah abad silam ketika pendapatan di langit Kepulauan Riau dan Natuna tidak sesignifikan saat ini.

Persoalan yang tidak kalah penting ialah tanggung jawab (liability) siapa seandainya terjadi kecelakaan penerbangan sipil di langit Indonesia yang dikelola Singapura. Pendelegasian pengelolaan ruang udara bukan berarti pelimpahan tanggung jawab secara otomatis.

Instrumen perundang-undangan dan perjanjian bilateral diperlukan guna melindungi Indonesia. Insiden Uberlingen pada tahun 2002 silam dapat menjadi acuan, di mana kecelakaan pesawat terjadi di ruang udara Jerman yang dikelola Swiss.

Saat itu, pengadilan setempat sampai menelusuri perjanjian bilateral Jerman-Swiss guna membuat putusan atas gugatan yang diajukan para keluarga korban.

Perspektif pertahanan, kedaulatan ekonomi, maupun hukum telah berjalan selaras saat ini. Tidak ada alasan untuk mempertanyakan urgensi Instruksi Presiden per September 2015 atau menggunakan dalil klasik bahwa Undang-Undang Penerbangan mengamanatkan paling lambat tahun 2024, lantas tidak perlu terburu-buru.

Jangan pula menyebutkan, seharusnya tidak ada masalah mengingat Indonesia juga mengelola sebagian ruang udara negara tetangga, tepatnya di atas Christmas Island.

Pendelegasian Australia adalah pelimpahan beban, bukan pendapatan mengingat tidak banyak pesawat yang melintas. Maka, sangat tidak selaras jika dipadankan dengan pendelegasian pengelolaan langit Kepulauan Riau dan Natuna.

Akhir kata, penyelenggaraan kegiatan penerbangan seyogianya dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, termasuk bagi Singapura dan Malaysia.

Singapura menggantungkan pendapatan dari hub-and-spoke atau transit di Changi, sementara Malaysia membutuhkan kepastian tersambungnya wilayah barat dengan timur melalui jalur udara, tepatnya bagi penerbangan non-sipil.

Menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk menjamin dua hal krusial tersebut guna memuluskan pengambilalihan.

Muncul suatu pertanyaan, apakah berlama-lama mempertahankan status quo dapat dikategorikan sebagai wujud baru korupsi mengingat besarnya potensi kehilangan pendapatan negara?

Jika waktu menjawab demikian, maka ranah korupsi telah bergeser menuju ruang udara.

Catatan Redaksi:

Pada Selasa (20/1/2018) pukul 14.00 WIB, Redaksi Kompas.com menambahhkan tanggapan Kedutaan Besar Singapura di Indonesia atas opini di atas sebagai berikut.

Kami menyadari bahwa Bapak Ridha mempunyai pandangannya sendiri atas masalah ini, kami ingin menerangkan bahwa komentar Bapak Ridha berisi ketidakakuratan mengenai manajemen Singapura terhadap Wilayah Informasi Penerbangan Singapura/ Singapore Flight Information Region (FIR).
 ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
Kontrol Lalu Lintas Udara Singapura/ Singapore Air Traffic Control (ATC) menyediakan layanan navigasi udara dan mengelola semua penerbangan sipil didalam FIR tanpa diskriminasi. Hal ini untuk menjamin keamanan dan efisiensi lalu lintas sipil.

Apabila ada kebutuhan untuk berkoordinasi antara ATC Singapura dan pesawat terbang milik Indonesia, ATC Singapura akan secara konsisten memfasilitasi penerbangan tersebut segera demi keselamatan pesawat sipil tersebut.  ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
 ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
Sebagian besar otoritas FIR mengenakan biaya atas Route Air Navigation Services (RANS) kepada maskapai penerbangan untuk membiayai penyediaan layanan navigasi udara. Bagi FIR Singapura, kami tidak pernah menahan biaya RANS yang telah dikumpulkan tersebut.

Singapura mengumpulkan biaya RANS atas nama Indonesia, lalu biaya tersebut kami setorkan secara penuh kepada Direktorat-Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Indonesia, dikurangi biaya transfer antar bank yang standar.

Rapat rekonsiliasi mengenai biaya RANS ini diadakan secara rutin oleh pihak DJPU Indonesia dan Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS). DJPU Indonesia juga mengakui bahwa rekening tersebut telah sesuai. Biaya RANS tidak dikenakan di wilayah Natuna. ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
 ‍‍‍‍‍‍ ‍‍
Lau Yee Ler
Sekretaris Pertama (Politik)
Kedutaan Singapura
Jakarta ‍‍

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Nasional
Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Nasional
MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Nasional
Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Nasional
Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Nasional
MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

Nasional
Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com