JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengkritik pernyataan Menkopolhukam Wiranto yang meminta pemerintah jangan didesak mengenai pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus penyerangan penyidik Novel Baswedan.
Pernyataan itu justru menunjukkan pemerintah tidak mendukung pembentukan tim tersebut.
"Pernyataan Wiranto jelas tidak mendukung bahkan cenderung defensif," kata Boyamin, lewat pesan tertulis, Jumat (23/2/2018).
Boyamin menyatakan, Wiranto semestinya mendukung agar pemerintah membentuk TGPF kasus Novel. Hal ini demi tegaknya keadilan atas kasus yang sudah 10 bulan lebih belum terpecahkan itu.
"Semestinya Wiranto mendukung demi tegaknya keadilan, dan yang penting untuk pemberantasan korupsi karena apapun juga (pemberantasan korupsi) menjadi program pemerintah," ujar Boyamin.
Baca juga : Wiranto Minta Pemerintah Jangan Didesak-desak Soal TGPF Novel Baswedan
Sama seperti masyarakat sipil lainnya, MAKI menyatakan mendukung pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo membentuk TGPF.
"Jika kasus Novel tidak terungkap maka dapat dipastikan kedepannya makin suram, karena koruptor akan menggunakan segala cara termasuk teror untuk hindari proses hukum," ujar Boyamin.
Dia menilai, Presiden Jokowi terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan soal TGPF kasus Novel. Dia menduga terdapat hambatan bagi Jokowi dari kekuatan politik yang tidak menginginkan KPK semakin kuat.
Pernyataan Jokowi bahwa akan mengambil langkah selanjutnya kalau Polri menyerah dengan kasus Novel dianggap menunda waktu.
"Mestinya Presiden lebih mementingkan pemberantasan korupsi dalam bentuk penguatan KPK yang tercermin salah satunya TGPF Novel. Presiden tidak boleh menunda-nunda menunggu polisi menyerah. Dengan menunda-nunda maka bukti-bukti kejahatan terhadap Novel akan makin sulit ditemukan," ujar Boyamin.
Jokowi kalah tanggap daripada SBY
Menurut dia, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono lebih berani dalam mengambil tindakan ketika Novel ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan dalam kasus pencuri sarang burung walet.
Para pegiat antikorupsi yakin penangkapan Novel merupakan kriminalisasi karena KPK menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang saat itu calon tunggal Kapolri sebagai tersangka perkara dugaan korupsi.
Peristiwa yang dituduhkan kepada Novel itu terjadi saat Novel baru empat hari menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bengkulu.
Pada 18 Februari 2004, anak buahnya menganiaya tersangka pencuri sarang burung walet.
Baca juga : Samad: Tanpa TGPF, Kasus Novel Baswedan Tak Akan Terungkap
Saat itu, Novel tidak ada di tempat kejadian perkara. Namun, belakangan, dia disalahkan karena dianggap bertanggung jawab atas perilaku anak buahnya.
Ketegangan antara KPK dan Polri dalam kasus Novel sempat mereda saat SBY yang saat itu menjabat Presiden menyatakan bahwa penetapan Novel sebagai tersangka tidak tepat dalam hal waktu dan cara.
Berkas perkara Novel kemudian digantung. Namun, SBY tak memastikan Novel bebas dari jerat hukum. Boyamin menilai, Jokowi kurang berani seperti SBY.
"Betul, Jokowi kurang berani dan hanya bermain tataran retorika. Yang dibutuhkan bukan sekedar membiayai perawatan mata Novel, tapi sebagai Presiden harus lebih berani melindungi warga negara, apalagi warga negara yang berani berantas korupsi seperti Novel," ujar Boyamin.