JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa sejumlah anak muda muslim terpapar perilaku radikal dan ekstremis, meski jumlahnya kecil.
Koordinator Peneliti CSRC Chaider S Bamualim mengatakan, penelitian dilakukan secara kualitatif terhadap aktivis muda beragama Islam yang punya afiliasi organisasi di kampus maupun luar kampus.
"Kalaupun ada yang ekstremis, sikap seperti itu dianut mereka yang bergabung dengan kelompok jihadis," ujar Chaider dalam sosialisasi hasil penelitian arah dan corak keberagaman kaum muda muslim di Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Meski begitu, sebagian besar aktivis muda muslim yang diwawancara mendukung penuh Pancasila sebagai dasar negara. Alasannya, Pancasila dapat menjaga persatuan karena keberagaman yang dimiliki Indonesia.
Chaider mengatakan, proses radikalisasi dipengaruhi tiga faktor, yakni krisis identitas, keluarga dan pertemanan, serta peristiwa politik di dunia Islam.
Baca juga : Eks Napi Terorisme Dipertemukan dengan Korban, Ini Harapan Kepala BNPT
Proses radikalisme yang kompleks itu melahirkan respon yang berbeda terhadap gerakan dan aktivisme Islam yang terbagi atas tiga varian.
Di ketiga varian itu, semua penganutnya bersikap intoleran dan revolusioner. Mereka ingin mengubah tatanan sosial.
Yang membedakan yakni, untuk varian garis keras, mereka pro kekerasan tapi tidak antinegara dan tidak mendukung terorisme.
Untuk varian radikalisme, kata Chaider, mereka anti kekerasan dan terorisme, namun anti pada negara.
"Mereka memiliki cita-cita untuk mendirikan suatu kepemimpinan Islam maupun kekhalifahan," kata Chaider.
Baca juga : Ketika Korban Hampiri dan Peluk Terdakwa Bom Thamrin...
Ketiga, varian ekstremisme, mereka memenuhi aspek pro kekerasan, pro terorisme, dan mendorong perubahan tatanan negara.
Terkait radikalisme, kata Chaider, penelitian menyebutkan bahwa aktivis muda muslim cenderung menolak radikalisme dan ekstremisme yang mencoba melakukan perubahan sosial-politik secara menyeluruh.
Namun, terjadi anomali di beberapa tempat tertentu. Seperti di Lamongan, Amrozi, pelaku bom Bali, justru menjadi panutan kaum muda muslim. Diketahui, Amrozi bersaudara berasal dari Lamongan. Yang lebih mengherankan lagi, kata Chaider, sejumlah aktivis yang berhaluan nasionalis seperti GMNI, Pemuda Pancamarga, dan KNPI justru berpendapat Amrozi bukan teroris.
"Pandangan dan sikap yang seperti ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya di mana sebaguan besar masyarakat menaruh simpati kepada Amrozi dan teman-temannya," kata Chaider.