JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang banyak mendapatkan penolakan dari masyarakat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Jakarta, Surya Tjandra mengapresiasi sikap Presiden itu, namun tetap saja penolakan Presiden menandatangai UU MD3 tidak akan memiliki dampak apapun.
"Itu enggak akan ada dampaknya karena setelah 30 hari tetap akan berlaku. Itu kata undang-undang dasar," ujarnya saat ditemui di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Ia menilai, ada atau tidak adanya tandatangan Presiden di UU MD3, produk hukum yang sudah disahkan tersebut tetap akan berlaku.
Sebenarnya, tutur dia, cara yang paling ampuh menggugurkan pasal-pasal kontroversial di UU MD3 yakni melalui proses uji materi di MK.
(Baca juga: Ketua DPR Tetap Yakin Jokowi Teken UU MD3)
Sementara, penerbitan Perppu untuk menunda atau membatalkan UU MD3 juga dinilai berat, lantaran nantinya akan melalui proses di DPR kembali.
"Jadi hanya bisa pakai MK, kalau MK mengatakan digugurkan, otomatis ada kekuataan hukum tetap," kata Surya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan kalau Presiden Joko Widodo kemungkinan tidak akan menandatangani pengesahan UU MD3.
Langkah tidak menandatangani UU MD tersebut, kata Yasonna, merupakan salah satu bentuk protes eksekutif terhadap sejumlah pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik di masyarakat.
Pasalnya DPR menambah sejumlah pasal saat revisi UU MD3 yang saat ini berbuah kontroversi di masyarakat.
Mulai dari pasal soal penghinaan terhadap parlemen, pasal soal memberikan wewenang kepada Polri untuk menghadirkan seseorang dalam rapat di DPR hingga pasal soal izin Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas anggota DPR yang tersangkut persoalan hukum.