JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir memandang adanya unsur politik dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama).
Zainal menuturkan, pada tahun 1965 UU tersebut menargetkan kelompok aliran kebatinan atau aliran kepercayaan.
Sementara kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang sudah ada saat itu tidak terkena dampak dari UU Penodaan agama.
"Saya lihat dari UU Penodaan Agama, bahwa dengan adanya perubahan politik, ada pergeseran target dari UU itu. Misalnya saat 1965 ketika UU itu dikeluarkan, target utamanya adalah yang disebut sebagai aliran kebatinan, aliran kepercayaan," ujar Zainal saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi atas UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2017).
Baca juga : Pasal Penodaan Agama di RKUHP Diperluas
"Sementara tahun 1965 Syiah dan Ahmadiyah sudah ada. Ada beberapa aliran lain tapi tidak satu pun yang disebut melakukan penodaan agama,"ungkapnya.
Namun, setelah tahun 1998 dan 2000, Ahmadiyah dan Syiah justru dianggap sebagai aliran sesat atau tak sesuai dengan ajaran Islam arus utama.
Situasi ini berbeda sebelum masa reformasi meski ia mengakui adanya kontrovesi antara Ahmadiyah atau Syiah dengan kelompok NU dan Muhammadiyah.
"Ada perdebatan dengan NU dan Muhammadiyah tapi mereka (Ahmadiyah dan Syiah) tidak disebut melakukan penodaan agama. Dan karena itu UU Penodaan Agama tidak diberikan kepada mereka. Mengapa setelah 1998 atau 2000 mereka kena. Karena ada perubahan sosial politik yang terkait dengan demokratisasi. Dengan meluasnya kebebasan berekspresi," kata Zainal.
Baca juga : Pemerintah Nilai UU Penodaan Agama Masih Diperlukan, Ini Alasannya
Melihat fakta tersebut, Zainal memandang bahwa MK harus memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pasal itu menyebutkan, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Menurut Zainal, frasa "melakukan penafsiran agama" dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak warga negara atau kelompok tertentu terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak sipil, politik dan ekonomi.
Contoh pelanggaran yang terjadi saat ini setidaknya dialami oleh warga Ahmadiyah dan Syiah.
"MK dapat memberikan penafsiran beryarat atas konstitusionalitas UU Penodaan Agama karena secara substansi UU tersebut belum sempurna dan dapat diperbaiki," tuturnya.
"Kalau situasinya seperti ini maka perlu pagar-pagar konstitusional sejauh mana penafsiran itu bisa dilakukan," kata Zainal.