JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengkritik hasil rekomendasi Pansus Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI).
Dalam rekomendasinya, Pansus meminta KPK meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi dalam kurun waktu lima tahun.
Dadang menjelaskan, IPK merupakan salah satu produk Transparency International yang melibatkan banyak komponen dan juga responden.
Ia menuturkan, ada banyak faktor yang menyebabkan naik dan turunnya IPK di Indonesia, antara lain, situasi pelayanan publik, relasi antara politik dengan bisnis, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan audit.
Baca juga : Saut Situmorang Anggap Berita soal Korupsi Pengaruhi Indeks Korupsi Negara
"Korupsi di Indonesia bukan semata-mata mark-up. Kalau di CPI (IPK) dilihat juga relasi antara bisnis dengan politik seperti apa, korupsi di sistem politik seperti apa," ujar Dadang dalam diskusi di kantor TII, Jakarta Selatan, Minggu (18/2/2018).
"Kalau itu dibebankan pada KPK untuk menaikkan CPI, sampai kiamat juga tak akan mngkin terjadi," tuturnya.
Menurut Dadang, untuk menaikkan skor IPK, dibutuhkan kerja-kerja dari seluruh lembaga, baik eksekutif maupun legislatif.
Baca juga : Ketua KPK Bangga Indeks Persepsi Korupsi RI Nomor Tiga di ASEAN
Jika KPK terus berupaya memberantas korupsi namun tak mendapat dukungan dari DPR dan pemerintah, maka skor IPK tidak meningkat.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa DPR dan penerintah memiliki andil dalam memperbaiki skor IPK, mengingat keterbatasan anggaran dan sumber daya KPK.
"Rekomendasi pansus DPR terkait CPI itu seolah DPR bukan dari bagian masalah korupsi dan juga bukan bagian dari solusi. Seolah DPR berada di luar masalah korupsi. Kalau KPK efektif bekerja, kalau pemerintah komitmennya tidak kuat, maka tidak akan terjadi," kata Dadang.