Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Formappi: Pasal Panggil Paksa di UU MD3 Bisa Mengarah ke Pemerasan dan Korupsi

Kompas.com - 17/02/2018, 16:00 WIB
Robertus Belarminus,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, pasal pemanggilan paksa dalam UU MD3 berpotensi mengarah ke pemerasan dan juga praktik korupsi.

"Saya melihat pasal ini bisa diterapkan untuk memeras pihak lain atau bisa mengarah pada upaya korupsi nantinya. Dan ini sangat berbahaya. Mestinya tidak demikian," kata Sebastian, saat ditemui usai diskusi Populi Center dan Smart FM Network dengan topik: "DPR Takut Kritik?" di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2018).

Seharusnya, kata Sebastian, ketentuan panggil paksa ini hanya berlaku dalam hak angket DPR saja. Namun, DPR, kata dia, memperluas ketentuan panggil paksa itu tidak hanya sebatas mengenai angket, tetapi juga berlaku untuk hal lain.

DPR, lanjut Sebastian, bisa memanggil paksa seseorang dengan meminta bantuan kepolisian. Efek yang paling buruk menurut dia dari ketentuan ini adalah DPR bisa mengancam siapa saja.

Misalnya mengancam mitra kerjanya dan mengancam masyarakat atau publik. Jika pihak yang dipanggil menolak, kata Sebastian, DPR bisa menggunakan polisi untuk memanggil paksa.

"Lalu kemudian dari situ, arahnya itu, dengan kewenangan kekuasaan yang mereka miliki itu, bisa saja nanti arahnya bisa mengintimidasi orang, atau bahkan kalau tidak mau dipanggil paksa, ya mungkin (mesti) ada kompensasi ekonomi (pemerasan)," ujar Sebastian.

(Baca juga: UU MD3 Digugat ke MK karena Berbau Orde Baru)

DPR RI telah mengesahkan UU MD3 beberapa hari lalu. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah Pasal 73, yang menambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.

Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas sebelumnya mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil salah seorang gubernur.

Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.

Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.

(Baca juga: PPP: Kalimat Merendahkan Kehormatan DPR dalam UU MD3 Perlu Penjelasan)

"Kemarin itu kan berlaku menyiasati apa yang terjadi bukan hanya dalam Pansus Angket. Itu yang kedua. Tapi ada satu pemanggilan yang dilakukan Komisi III terhadap seorang gubernur yang sampai hari ini tidak hadir di DPR. Itu pemicunya," kata Supratman.

Penambahan frase "wajib", lanjut Supratman, merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket memanggil paksa KPK.

Saat itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menolak diminta menghadirkan paksa pimpinan KPK dan mantan anggota DPR RI Miryam S Haryani untuk diminta keterangan oleh Pansus Hak Angket.

Bahkan dalam Ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari. Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.

Kompas TV Ada pasal yang menjadi kontroversi di Undang-Undang MD3.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com