JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Psikologi Politik Hamdi Muluk menganggap pernyataan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman tepat soal pasal penghinaan anggota Dewan di Undang-undang MD3.
Sohibul sebelumnya meminta maaf karena Fraksi PKS menyetujui Pasal 122 huruf (k).
Pasal itu berbunyi, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
(baca: Presiden PKS Minta Maaf atas Pengesahan Salah Satu Pasal UU MD3)
Menurut Sohibul Iman, Pasal itu menunjukkan mental feodal di kalangan DPR untuk mendapatkan keistimewaan.
"Benar juga kata Sohibul. Zaman feodal dulu raja-raja itu harus disebut dengan raja yang sebutannya panjang, terhormat, disembah. Memang feodal ini," ujar Hamdi saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (17/2/2018).
Hamdi mengatakan, pasal tersebut memang mengada-ada. MKD bukan aparat hukum sehingga tidak bisa mengambil tindakan hukum.
(Baca juga : Dalam 24 Jam, Petisi Tolak Revisi UU MD3 Tembus 117.000 Dukungan)
Dengan adanya aturan tersebut, DPR terkesan antikritik. Hamdi meyakini pasal tersebut akan menjadi pasal karet yang bisa berujung banyaknya laporan.
"Apa kriterianya merendakan DPR itu? Produk yang namanya undang-undang sebaiknya menghindari tafsiran yang karet," kata Hamdi.
Dalam demokrasi, fungsi kritik dari publik sangat dibutuhkan oleh pemerintah sebagai check and balance.
Kekuasaan negara harus diimbangi dengan pengawasan dan kritik masyarakat sipil. Termasuk DPR yang tidak boleh imun dari kritik tersebut.
(Baca juga : UU MD3, Kado Memprihatinkan Dua Dekade Reformasi)
Terkait perbedaan sikap Fraksi dan DPP PKS, Hamdi menilai, ada bagusnya PKS tidak kompak. Jika Sohibul satu kata dengan Fraksi, maka DPR semakin sulit dikritik.
"Mungkin di dalam PKS pecah, tapi dalam konteks itu Sohibul benar. Memang feodal. Pasal lebay kalau saya katakan," kata Hamdi.
Sebelumnya, Sohibul memyebut ada kesalahpaham antara DPP PKS dan Fraksi PKS di DPR terkait pengesahan UU MD3, khususnya Pasal 122 huruf (k).
Ia meminta maaf atas miskomunikasi dan menegaskan bahwa dirinya tak setuju disahkannya Pasal tersebut.
Menurut Sohibul, Pasal itu menunjukkan mental feodal di kalangan DPR untuk mendapatkan keistimewaan. Dia menilai, jika ada anggota DPR yang dihina, seharusnya masuk kepada delik aduan.
Bukan hanya anggota DPR, kata Sohibul Iman, semua orang yang merasa dihina sudah dilindungi dalam undang-undang, dan berhak melapor kepada pihak berwajib.
"Kenapa anggota DPR secara khusus membuat pasal itu? Saya curiga ini ada mental feodal di kalangan DPR ingin mendapatkan keistimewaan. Padahal, siapa pun di negeri ini yang merasa dihina sudah ada payung hukumnya. Kenapa mesti harus membuat pasal khusus," ujar Sohibul.
(Baca juga : Ketua DPR: Jika Perlu DPR Akan Membuat Lomba Kritik DPR Terbaik)
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak anti terhadap kritik.
Hal itu dikatakan Bambang saat membacakan pidato penutup Rapat Paripurna berjudul "Kami Butuh Kritik" di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
"Pimpinan Dewan ingin menegaskan, DPR tidak antikritik. Di era keterbukaan sekarang ini, kita tidak boleh menutup mata atas kritik yang disampaikan oleh masyarakat," ujar Bambang.
"Bahkan jika perlu DPR akan membuat lomba kritik DPR terbaik, dengan para juri dari kalangan akademisi, tokoh masyarakat, dan pemerhati kebijakan publik," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.