Jika merujuk pada riset-riset antropolog dan sejarawan, Nusantara ini tersusun dari interaksi antar-kebudayaan besar dunia—yaitu Tiongkok, India, Persia, dan Arab—yang bertemu dengan kultur Jawa, Batak, Bugis, Melayu, Aceh, dan budaya-budaya lokal di seluruh penjuru wilayah ini.
Interaksi tersebut berpengaruh pada akumulasi peradaban yang tidak bisa dipecah dalam sebuah kultur dominan, sembari menegasikan interaksi budaya yang berlangsung selama beradab-abad.
Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengabdian orang-orang Tionghoa jangan sampai pula tenggelam dari catatan sejarah. Kita mengingat kisah-kisah perjuangan John Lie Tjeng Tjoan, Liem Koen Hian, dan segenap pejuang Tionghoa pada masa kemerdekaan.
Kisah-kisah mereka harus diwariskan secara proporsional, dalam upaya membentuk keseimbangan serta kejernihan membaca perjuangan kemerdekaan.
John Lie merupakan pahlawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Ia lahir di Manado pada 9 Maret 1911. John Lie dikenal juga dengan nama Jahja Daniel Dharma.
Mengawali karier sebagai buruh di pelabuhan di Jakarta, John Lie kemudian kursus navigasi, hingga berlanjut menjadi klerk mualim III di kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda.
Pada masa perjuangan kemerdekan, John Lie bergabung bersama Angkatan Laut RI. Jasa penting John Lie adalah keberaniannya menembus blokade pasukan Belanda, untuk masuk ke kawasan Singapura.
(Baca juga: Kisah John Lie, "Hantu Selat Malaka", Pahlawan Penyelundup Senjata...)
Di sana ia menukar komoditas ekspor dengan senjata yang sangat penting bagi pejuang-pejuang kemerdekaan. Pada saat itu, sangat sedikit orang yang menguasai teritorial lautan serta mempunyai keahlian navigasi yang mampu menembus blokade militer Belanda.
Perjuangan John Lie sebenarnya diingat oleh pemerintah Indonesia, meski lewat beberapa dekade kemudian. Pada 2009, pemerintah Indonesia memberinya anugrah Bintang Mahaputra Adipradana. Nama John Lie juga diabadikan menjadi nama kapal perang KRI John Lie (358) pada akhir 2014.
Pejuang Tionghoa yang juga perlu dicatat nama besarnya adalah Liem Koen Hian. Ia dikenal sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Liem Koen Hian, melalui dua lembaga itu, berjuang sangat gigih untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Ia juga berinteraksi dengan tokoh bangsa dari pelbagai kelompok lintas etnis dan agama, serta mengajak orang-orang Tionghoa untuk membantu perjuangan kemerdekaan.
Sebagai wartawan, Liem mengusung ide-ide perjuangan kemerdekaan lewat tulisan. Pada 1925, ia menjadi pemimpin redaksi Pewarta Soerabaia. Liem konsisten dengan gagasan perjuangan nasionalisme Tionghoa serta kritik kerasnya terhadap kolonialisme Belanda. Karena gagasannya itu, Liem terpaksa meninggalkan Pewarta Soerabaia.
Dalam perjalanan karier sebagai wartawan dan pejuang, Liem Koen Hian bertemu Tjipto Mangunkusumo. Keduanya berdiskusi panjang lebar, tentang bagaimana memaknai Tanah Air.
Liem menerima pandangan Tjipto tentang pembentukan bangsa Hindia yang terdiri dari orang-orang yang menganggap Hindia—sebutan yang diusung Tjipto untuk wilayah negara kita dan orang-orang di dalamnya—sebagai Tanah Air mereka.
Karenanya, peranakan Indo-Belanda, peranakan Tionghoa serta peranakan Arab, merupakan bagian dari bangsa yang diperjuangkan itu.
(Baca juga: Bung Hatta dan Asal-usul Nama Indonesia)
Dalam kisah berikutnya, Liem bertentangan dengan kelompok Sin Po dan Chung Hwa Hui. Kelompok Sin Po mengusung ide perjuangan keturunan Tionghoa agar mendapat hak yang sama dengan keturunan Eropa, pada masa kolonial. Sementara itu, Chung Hwa Hui sangat mendukung kebijakan Belanda.