Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyelami UU MD3, Di Mana Logikanya?

Kompas.com - 14/02/2018, 19:42 WIB
Yoga Sukmana,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah dua hari sejak Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) disahkan, namun reaksi keras publik belum juga surut. Bahkan, revisi UU yang baru saja disahkan itu langsung akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh koalisi masyarkat sipil. Apa salah dan dosa mu, UU MD3?

Mari kita selami logika yang dibangun dari beberapa pasal yang kini menjadi sorotan publik.

Dalam revisi UU MD3, pasal 73 mewajibkan polisi membantu memanggil paksa seseoarang yang akan diperiksa DPR, namun enggan datang. Ketentuan ini ada lantaran DPR punya pengalaman buruk. Salah satunya yakni ketika KPK tak mau datang saat dipanggil oleh Pansus Angket DPR.

Dengan adanya penambahan frase wajib dalam Pasal 73, DPR berharap tugas-tugasnya bisa berjalan lebih lancar. Bahkan, UU MD3 memperbolehkan Kepolisian untuk menyandera selama 30 hari orang-orang yang tidak mau datang ke DPR.

Kenapa wakil rakyat begitu mengerikan untuk rakyatnya sendiri?

Baca juga : Baru Delapan Jam, Petisi Tolak UU MD3 Dapat 40.000-an Dukungan

Di sisi lain, DPR pula punya kewenangan untuk menolak seseorang hadir dalam rapat-rapat di DPR. Dalam kasus Angket Pelindo II misalnya, DPR mengeluarkan rekomendasi menolak hadirnya Menteri BUMN dalam rapat-rapat di DPR. Artinya, di satu sisi DPR punya kewenangan memanggil paksa seseorang, di sisi lain justru bisa juga menolak seseorang datang ke DPR.

Namun yang lebih mengkhawatirkan, DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa memperkarakan orang-orang yang tidak mau hadir saat dipanggil DPR ke penegak hukum.

Selanjutnya, ada pula Pasal 122 yang membuat DPR, kembali melalui MKD, bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR.

Tujuan pasal ini yakni untuk menjaga marwah dan kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara dan pribadi anggota DPR sebagai pejabat negara. Pasal ini menandakan kembali hidupnya pasal penghinaan peninggalan Belanda yang disebut Haatzaai Artikelen. Namun, dilihat dari sejarahnya, pasal itu berlaku untuk simbol negara.

Pertanyaanya lagi, apakah DPR atau anggota DPR adalah simbol negara?

Baca juga : Jokowi Diminta Terbitkan Perppu untuk Koreksi UU MD3

Penting untuk diingat, MK dalam putusanya Nomor 013-022/PUU-IV/2016, membatalkan pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden lantaran dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi.

Di Indonesia sendiri, batas presiden sebagai kepala negara (sebagai simbol negara) dengan kepala pemerintahan sulit dipisahkan. Lantaran hal itu pula, MK membatalkan pasal tersebut.

Lantas kenapa DPR memunculkan pasal itu? bahkan untuk dirinya sendiri.

"Ini kok tiba-tiba anggota DPR menganggap mereka sebagai simbol negara yang harus dilindungi. Ini yang menurut saya agak melompat (pemikirannya)," kata Pengamat politik Lingkaran Madani Indonesia Ray Rangkuti.

Baca juga: Beberapa Pasal di UU MD3 yang Membuat DPR Kian Tak Tersentuh

Anehnya lagi, kalau boleh dibilang seperti itu, beberapa anggota DPR dengan lantang menolak pasal penghinaan untuk Presiden dan Wakil Presiden hidup lagi di RKUHP.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com