JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo diminta menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengoreksi sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Kami dorong Presiden terbitkan perppu," kata peneliti Indonesian Corruption Watch Almas Sjafrina dalam diskusi di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Almas mencatat, setidaknya ada empat pasal dalam UU MD3 yang harus dikoreksi oleh Jokowi.
Pertama, Pasal 15 dan Pasal 84 yang mengatur penambahan dua kursi pimpinan MPR dan satu kursi pimpinan DPR. Pasal tersebut dinilai hanya menjadi alat bagi-bagi kekuasaan dan menghabisi anggaran.
Kedua, Pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang. Pasal ini juga dinilai membuat DPR bisa melakukan pemanggilan paksa secara sewenang-wenang.
(Baca juga: UU MD3, Kado Memprihatinkan Dua Dekade Reformasi)
Ketiga, Pasal 122 huruf k, di mana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal ini dinilai mencederai demokrasi dan membungkam kritik masyarakat terhadap lembaga yang mewakilinya.
Keempat, ada juga Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin. Pasal ini dinilai dapat membuat DPR berlindung dari proses hukum.
"Masa undang-undang yang cacat seperti ini lahir di Pemerintah Jokowi-JK. Ini tentu akan menjadi catatan yang tidak baik," kata Almas.
Almas pun meyakini Presiden Joko Widodo tidak mendapatkan laporan yang utuh dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly terkait materi UU MD3.
Ia menilai, Menkumham sudah mengambil keputusan sendiri saat mewakili pemerintah membahas dan mengesahkan UU MD3 bersama DPR.
"Presiden Jokowi harus mengevaluasi kinerja Menkumham Yasonna Laoly," ucap Almas.