Kebahagiaan tergantung pada apa yang kita berikan, bukan pada apa yang kita peroleh -- Mohandas Ghandi
KATA sifat "asketis" berasal dari istilah Yunani kuno, ask?sis, yang berarti latihan atau olahraga.
Istilah ini berkembang dan digunakan pula sebagai sebutan bagi praktik latihan berat dari semua agama besar untuk mendapat pencerahan meraih kemuliaan rohani.
Dalam Islam, terminologi yang relevan dengan asketisme adalah zuhud, pola hidup yang sederhana.
Asketisme politik menjadi hal penting sebagai laku para aktor untuk menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etik serta memproyeksikan tindakannya untuk berkhidmat bagi kemaslahatan rakyat.
Berpolitik tidak hanya untuk mengejar kekuasaan melainkan juga untuk meningkatkan "kesalehan berpolitik" baik di tingkat pribadi maupun institusi.
Asketisme relevan untuk kita ketengahkan mengingat perilaku politisi yang di legislatif maupun di eksekutif banyak terjerat kasus korupsi.
Data yang memilukan sejak tahun 2004–2017, terdapat 313 kepala daerah tersangkut korupsi. Di awal 2018 saja, ada lima kepala daerah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi yang menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi.
Sektor rawan korupsi antara lain penyusunan anggaran, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, hibah dan bantuan sosial, perjalanan dinas, serta sektor perizinan.
Dan, yang tak kalah fantastis jumlahnya adalah politisi yang menjadi legislator pusat dan daerah yang terjerat korupsi. Bahkan tak jarang terjadi kolaborasi di antara kedua lembaga tersebut.
Ada biaya politik yang tinggi untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota legislatif. Bukan hal yang sulit mengetahui kisaran biaya politik yang mahal dalam hitungan ratusan juta hingga puluhan dan ratusan miliaran rupiah.
Biaya tinggi ditengarai menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya korupsi dan menurunkan kualitas kepemimpinan politik di legislatif maupun eksekutif.
Realitas biaya tinggi politik ini pula yang selanjutnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang yang berduit tebal sebagai calon anggota legislatif (caleg) maupun calon kepala daerah karena bisa membiayai partai hingga terjadi siklus pola transaksional pola MPM atau money-power-more money.
Uang yang menjadi modal penting meraih kekuasaan politik, yang selanjutnya kekuasaan digunakan untuk meraih uang yang lebih banyak lagi.
Meski demikian, sesungguhnya ada calon yang baik, kompeten berkomitmen tinggi dan idealis. Mereka berusaha tidak terpancing menggunakan politik uang.
Mereka hanya mengandalkan kedekatan, idealisme, hubungan serta program populis. Namun, sepertinya realitas cerita semacam ini semakin jarang terdengar, meskipun ada beberapa yang sukses.
Saat ini adalah era kehidupan yang diwarnai iklim menguatnya materialisme dan hedonisme yang juga memengaruhi kehidupan umumnya para politisi kita.
Kita mudah mengetahui pola hidup para politisi yang bergelimang kemewahan, mobil mewah, rumah mewah, jam mewah, hingga pakaian modis nan mahal. Sehingga, gedung rakyat pun tak jarang menjadi semacam galeri untuk memamerkan kekayaan.
Teladan kesederhanaan
Adalah Prawoto Mangkoesasmito, profil politisi pejuang yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyatnya. Prawoto tak pernah menjadikan politik sebagai alat mengeruk uang demi kepentingan pribadi maupun partai politik.
Prawoto pernah menjabat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Wakil Perdana Menteri di era Mr Assaat sebagai Perdana Menteri.
Beliau juga pernah menduduki anggota DPR dan Wakil Ketua I Konstituante. Ini kedudukan yang sesungguhnya dapat membuat seseorang dapat hidup layak dan nyaman.
Sebuah cerita tentang kesederhanaan Prawoto dituturkan oleh putrinya, Sri Sjamsiar, saat Prawoto dipanggil ke Istana oleh Presiden Soekarno.
Malam hari sebelum memenuhi panggilan, Prawoto meminta putrinya untuk menisik (menambal lubang) di kerah baju koko putih miliknya.
Keesokan harinya di Istana, para undangan lain mengenakan setelan jas, dasi dan bersepatu, tetapi Prawoto hanya mengenakan sarung, baju koko tua, peci, dan sandal kulit. Hal yang sulit terjadi saat ini.
Dulu di zaman perjuangan, banyak sosok-sosok politisi pejuang nyaris tidak pernah memikirkan materi untuk pribadi. Sederet pejabat justru berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa.
Salah satunya adalah KH Saifuddin Zuhri, yang dikenal sebagai pejuang dan sempat diamanati sebagai Menteri Agama.
Saat berada di jabatan strategis ini, beliau diuji. Suatu kali, adik iparnya Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama.
Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun KH Saifuddin Zuhri menolak permintaan adiknya. "Karena, kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," kata dia.
Jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok. Sehabis shalat dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke Pasar Glodok berdagang beras.
Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.
Teladan politisi lainnya adalah Mohamad Natsir. Salam seri Buku Tempo "Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim" dikisahkan, suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir.
Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956, mobil itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat penting negara ini.
Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu.
Namun, harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.
Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun, mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir.
Maka, tepat sekali puisi yang ditulis budayawan Taufiq Ismail untuk mengenang 100 tahun Natsir. Taufiq melukiskan kerinduan Indonesia pada tokoh santun dan jujur seperti Natsir.
"Bagi rakyat dia adalah menteri yang jasnya bertambal. Mobil pribadinya DeSoto, berwarna kusam, dan menggeleng ketika ditawari Chevvy Impala," kata Taufiq.
"Dialah perdana menteri yang menolak kelebihan dana taktis, dan memilih disumbangkannya ke koperasi pegawai. Dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Perdana menteri yang pernah boncengan dengan sopirnya naik sepeda, yang ahli warisnya tak mampu membayar pajak peninggalan rumahnya di kawasan Menteng," ujarnya.
Jika menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam konteks politik saat ini, tampak kuat hasrat politik rendah (low politic) masih dominan.
Politik hanya menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan berapa, tanpa rasa bersalah. Sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati baik nilai etis, estetis maupun religius.
Terinspirasi Gandhi. Kita berharap ke depan terwujud politik yang sederhana, namun besar dalam memengaruhi hal baik semua sendi kehidupan.
Berpolitik adalah berkhidmat bagi rakyat dan memberi maslahat. Bukan berpolitik untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok apalagi individu.
Adalah tanggung jawab kita semua mewujudkannya, khususnya para politisi. Semoga.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.