JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang disahkan pada rapat paripurna, Senin (14/2/2018) kemarin, memuat sejumlah pasal yang dinilai membuat DPR kian tak tersentuh.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR nampak menutupi pembahasan sejumlah pasal yang membuat mereka kian tak tersentuh dengan alasan hanya merevisi pasal terkait penambahan jumlah Pimpinan DPR dan MPR.
"Maka muncul misalnya ketentuan yang mewajibkan polisi melakukan pemanggilan paksa kepada pihak yang diputuskan DPR untuk hadir dalam rapat atau sidang di DPR," kata Lucius melalui pesan singkat, Senin (12/2/2018).
"Juga muncul keinginan DPR agar terkait proses hukum atas mereka, penegak hukum harus mengantongi rekomendasi MKD dan izin Presiden," lanjut dia.
Selain itu, ada pula pasal lain tentang penghinaan parlemen dimana MKD bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang menghina kehormatan DPR.
(Baca juga: Revisi UU MD3 Diketok, Bukti DPR Sibuk Bagi-Bagi Jatah Kursi)
Berikut sejumlah pasal yang dinilai bermasalah dan membut DPR semakin tak tersentuh dalam Undang-undang MD3:
Pasal 73
Dalam klausul Pasal 73 revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu, ditambahkan frase "wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.
Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.
Saat itu gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.
Selain itu, DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirasuah tersebut.
"Kemarin itu kan berlaku menyiasati apa yang terjadi bukan hanya dalam Pansus Angket. Itu yang kedua. Tapi ada satu pemanggilan yang dilakukan Komisi III terhadap seorang gubernur yang sampai hari ini tidak hadir di DPR. Itu pemicunya," kata Supratman usai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2/2018).
(Baca juga: DPR Secara Berjemaah Membunuh Demokrasi Lewat UU MD3)
Ia mengatakan, nantinya ketentuan itu akan diperkuat dengan ketentuan tambahan berupa Peraturan Kapolri (Perkap).
Penambahan frase "wajib", lanjut Supratman, merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket memanggil paksa KPK.
Bahkan dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari. Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.