JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak angket DPR terhadap KPK akan menjadi preseden buruk.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga bisa menjadi objek hak angket.
Implikasi putusan ini, jika ada tindakan KPK yang tak disukai DPR, sewaktu-waktu hak angket tersebut bisa dikeluarkan lagi.
"Akibat lanjutan dari putusan MK ini, KPK menjadi rentan yang setiap saat bisa diganggu oleh angket DPR," ujar Fickar kepada Kompas.com, Jumat (9/2/2018).
Baca juga: Fahri Hamzah: DPR Bisa Pakai Hak Angket terhadap Peradilan
Ia menyebutkan, berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3, objek hak angket adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Fickar mengatakan, putusan tersebut dinilainya ambigu dan inkonsisten dengan putusan MK sebelumnya.
"Tapi pada putusan ini, MK mendudukkan KPK perpanjangan eksekutif," kata Fickar.
"Dengan ketidakkonsistenan ini, telah menurunkan marwah MK sendiri," lanjut dia.
Menurut Fickar, putusan tersebut juga mengindikasikan bahwa pertarungan pemikiran berbasis keilmuan dikalahkan dengan pemikiran pragmatis.
Apalagi, ada keraguan terhadap kredibilitas Ketua MK Arief Hidayat yang telah dua kali dinyatakan melanggar etik. Putusan tersebut juga berdampak pada pandangan masyarakat terhadap hakim MK lainnya.
"Sehingga ada degradasi pengertian negarawan bagi hakim-hakimnya," kata Fickar.
Baca juga: Mahfud MD: Pansus Angket KPK Tetap Tidak Sah
Tak hanya putusannya yang terdegradasi, menurut dia, kelembagaan MK juga ikut tercoreng.
Fickar mengatakan, dengan menganggap hak angket terhadap KPK sah, maka berdampak turunnya marwah MK.
"Hal ini sangat mungkin pengaruh dari kualitas hakim-hakimnya," kata dia.