JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen IAIN Cirebon Abdul Muiz Ghazali mengatakan, Islam sangat mengapresiasi program keluarga berencana dan terbuka dengan pendidikan reproduksi.
Pasal 481 dan 483 dalam RKUHP berpotensi mengancam program Keluarga Berencana (KB) dan keberlanjutan pendidikan Islam.
Muiz menuturkan, jauh sebelum ada program KB di Indonesia, sudah dikenal sistem 'azl, atau yang lebih familiar dengan istilah coitus interuptus.
"Islam sebenarnya sangat mengapresiasi KB. Jauh sebelum ada KB, sudah ada sistem 'azl," kata Muiz dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (4/2/2018).
(Baca juga : Dalam RKUHP, Menunjukkan dan Menawarkan Kondom Bisa Dipidana)
Demikian halnya ihwal mencegah kehamilan (kontrasepsi), dalam ajaran agama Islam dikenal istilah tandzimun nasl (mengatur jarak kehamilan) dan tahdidun nasl (membatasi kehamilan).
Muiz menjelaskan, tandzimun nasl atau mengatur jarak kehamilan ini sangat penting untuk memastikan bahwa orangtua benar-benar mampu memenuhi tanggungjawabnya kepada si anak.
"Orangtua ini sanggup tidak untuk membiayai anaknya, menyekolahkan anaknya, menghidupi anaknya. Dia punya kesanggupan atau tidak untuk punya anak," kata Muiz.
(Baca juga : Jika Menawarkan Kondom Dipidana, Penyebaran HIV/AIDS Akan Meningkat)
Ia menambahkan, untuk saat ini sangat tepat jika di Indonesia diterapkan tahdidun nasl atau pembatasan kehamilan atau program KB.
Sebab, menurut Muiz, saat ini saja sudah banyak masyarakat Indonesia yang tidak terdidik.
"Bagaimana tanggungjawab orangtua terhadap anak, itu malah hilang. Ini karena kita boleh dikatakan terlalu sembrono memiliki anak," ucap Muiz.
(Baca juga : Pasal soal Kontrasepsi di RKUHP Diminta Dihapus)
Mengenai pasal yang mengatur tentang alat kontrasepsi dalam RKUHP, yakni pasal 481 dan 483, Muiz menilai banyak kerancuan. Salah satu kerancuannya ada pada frasa alat untuk mencegah kehamilan.
Selain itu, menurut Muiz apabila pasal itu disahkan, maka akan berimplikasi terhadap keberlanjutan pendidikan Islam, yang juga sangat terbuka dengan persoalan reproduksi.
Sebab bukan tidak mungkin, kata dia, para pengajar di pondok-pondok pesantren yang memberikan pendidikan reproduksi bisa dikenakan pasal 481 dan 483 tersebut.
"Saya kira agak besar persoalannya. Bukan hanya ketidaktahuan orang per orang tentang (reproduksi) dirinya sendiri. Tetapi juga keberlanjutan pendidikan Islam di masa depan, dan saya kira juga agama lain," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.