JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menganggap bahwa usulan penjabat gubernur dari perwira aktif Polri memicu timbulnya anggapan adanya calon dari kubu "pemerintah" dan "non-pemerintah".
"Sekarang kecenderungannya membuat keterbelahan kubu-kubu, antara kubu calon pemerintah dan non-pemerintah," kata Titi di kantor Sekretariat Iluni Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Bahkan, usulan tersebut juga dianggap semakin memperuncing persaingan partai pemerintah dan oposisi dalam pilkada serentak. Opini yang terbentuk, menurut Titi, adalah partai oposisi semakin "liar" memainkan isu untuk menjegal calon yang "didukung" pemerintah.
"Ini memicu partai oposisi untuk punya spekulasi dan isunya sendiri. Jadi sangat disayangkan," kata Titi.
(Baca juga: Soal Penjabat Gubernur, Desmond Sindir Mendagri Ingin Bawahi Polri)
Karena itu, Titi menyayangkan usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo soal penjabat gubernur dari perwira aktif Polri tersebut, yakni untuk ditempatkan di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
"Kontraproduktif, ditarik kepada isu netralitas Polri, ditarik kepada keberpihakan aparat penegak hukum pada salah satu kontestan. Ini kan akhirnya yang tidak kita inginkan," ujar Titi.
Imbasnya, kata Titi, publik tak mendapatkan pencerahan dalam memilih calon kepala daerah yang akan bertanding di pilkada serentak mendatang.
"Spekulasi yang justru muncul, kontroversi yang justru muncul. Pemilih tidak diajak masuk untuk mendiskusikan isu yang substansial, bahas program, tidak mendiskusikan visi-misi, mendiskusikan ide gagasan, tidak ada," ucap Titi.
(Baca juga: Petinggi Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri Mengaku Tak Ada Titipan Partai)
Sebelumnya, Tjahjo Kumolo mengusulkan Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat. Sedangkan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Keduanya akan mengisi kekosongan jabatan karena masa jabatan dua gubernur di daerah tersebut berakhir pada Juni 2018.
Di saat yang bersamaan, belum ada gubernur baru yang menggantikan karena pilkada di dua daerah itu baru dimulai pada akhir Juni.
Namun, usulan tersebut menuai polemik karena dianggap dapat mengganggu netralitas TNI/Polri di Pilkada.
Mendagri beralasan, penunjukan jenderal aktif ini karena wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat memiliki potensi kerawanan jelang pilkada. Tjahjo memberi contoh, pada Pilkada 2017, ada dua daerah yang dianggap rawan, yakni Provinsi Aceh dan Sulawesi Barat.
(Baca juga: Saat Mendagri Heran karena Usulnya soal Penjabat Gubernur Diributkan)
Kemendagri saat itu juga menunjuk penjabat gubernur dua daerah tersebut dari kalangan TNI-Polri.
Di Aceh, penjabat gubernurnya adalah Mayjen TNI (Purn) Soedarmo yang menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Sementara itu, di Sulbar, penjabat gubernurnya adalah Irjen Carlo Brix Tewu. Saat itu, Carlo menjabat Plh Deputi V Bidang Keamanan Nasional Kemenko Polhukam dan Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam.