JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah warga menginisiasi petisi untuk menolak perluasan pasal zina dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah.
Dalam pasal 483 ayat (1) huruf e RKUHP dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.
Tunggal Pawestri, salah satu inisiator petisi, berpendapat bahwa perluasan pasal zina berpotensi meningkatkan kriminalisasi terhadap privasi warga negara.
"Kami adalah perempuan, ibu rumah tangga, pekerja, mahasiswa, pelajar, aktivis, penyintas kekerasan seksual yang memiliki kekuatiran besar akan adanya upaya kriminalisasi terhadap privasi warga negara dalam pembahasan pasal-pasal kesusilaan RKUHP di Parlemen," tulis Tunggal seperti dikutip dari situs change.org, Selasa (30/1/2018).
Baca juga : Isu Zina dan LGBT , Jualan Partai di Tahun Politik?
Selain itu, menurut Tunggal, perluasan pasal zina berpotensi memunculkan persekusi dan budaya main hakim sendiri di tengah masyarakat. Sebab, setiap orang yang merasa memiliki kepentingan bisa melakukan penggerebekan atau penuntutan terhadap pasangan yang diduga melakukan persetubuhan di suatu tempat.
"Masyarakat akan berlomba-lomba menjadi polisi moral dan mengintervensi privasi orang lain. Penggerebekan rumah, kos, apartemen dan ruang privasi lainnya akan semakin marak terjadi jika pasal ini disahkan," kata Tunggal.
Ia juga menilai bahwa perluasan pasal zina akan menimbulkan korban dari kelompok rentan.
Pertama, korban perkosaan yang tak bisa membuktikan perkosaan atau jika pelaku perkosaan mengaku suka sama suka.
Kedua, pasangan tanpa surat nikah, termasuk nikah siri, poligami, dan nikah adat yang tak dapat membuktikan secara hukum perkawinan mereka.
Baca juga : Perluasan Pasal Zina dan Kriminalisasi LGBT dalam RKUHP
Dan ketiga, orang-orang yang tinggal bersama di satu tempat kontrakan atau sejenisnya. Mereka, kata Tunggal, bisa dipersekusi dengan tuduhan kumpul kebo atau zina.
Oleh sebab itu, Tunggal dan tujuh inisiator petisi lainnya meminta DPR menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kelompok masyarakat tertentu.
"Kami juga minta agar DPR membuka ruang partisipasi publik dan memperhatikan hak asasi manusia, pengalaman perempuan, anak dan kelompok minoritas adat," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) Komisi III, muncul usulan untuk memperluas pasal zina. Selama ini perbuatan zina yang bisa dipidana mensyaratkan adanya ikatan perkawinan
Sementara, dalam RKUHP diusulkan dua orang yang melakukan zina tanpa ikatan perkawinan bisa dipidana dan termasuk dalam delik aduan.