Direktur Women Development Center sekaligus dosen Unsyiah Aceh Suraiya Kamaruzzaman berpendapat senada.
Berdasarkan pengalaman menangani sejumlah konflik di Indonesia, perempuan secara kasat mata melakukan upaya rekonsiliasi sosial.
"Saya bisa contohkan salah satunya di Poso. Bagiamana proses dialog antara Muslim dengan Kristen dimulai oleh inisiasi perempuan di pasar. Di Aceh, Papua, Timor Leste juga demikian. Perempuan menjadi inisiator dalam mendorong perdamaian," ujar Suraiya.
Tantangan Bagi Perempuan
Namun survei juga menunjukkan fakta tantangan perempuan Muslim dalam hal menggali potensinya. Tingkat otonom perempuan Muslim Indonesia lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Rata-rata skor tingkat otonom laki-laki Muslim sebesar 77,7 persen. Adapun skor tingkat otonom perempuan Muslim hanya 62,3 persen.
Terkungkungnya para perempuan Muslim Indonesia dalam hal otonominya membuat potensinya sebagai penyebar nilai-nilai perdamaian terhambat.
Perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam membuat keputusan, baik dalam keluarga bahkan di lingkungan yang lebih formal lainnya.
Suraiya berpendapat, setidaknya ada lima hal yang menyebabkan demikian. Pertama, masih melekatnya budaya patrilinear di Indonesia.
Kedua, tafsir agama. Ketiga, hukum yang belum berorientasi pada pemenuhan hak perempuan. Keempat, tingginya angka pernikahan perempuan di usia anak-anak.
"Itu semua harus diputus, tidak ada cara lain selain membangun kapasitas si perempuannya dengan pendidikan informal," ujar Suraiya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.