JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yap Thiam Hien Todung Mulya Lubis mengatakan, KH Mustofa Bisri merupakan seorang ulama yang cinta damai dan kemajemukan.
Perjuangannya dalam penegakan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) telah mengantarkan Gus Mus, sapaan KH Mustofa Bisri, menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award 2017.
"Dunia perlu melihat Gus Mus, bahwa Indonesia punya ulama Islam yang cinta damai dan kemajemukan, bukan ulama yang keras, fanatik dan tidak menerima keberadaan agama lain...," ujar Todung Mulya Lubis, saat berbincang dengan Kompas.com, di sela acara malam penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2017, di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (24/1/2018).
Baca juga: Air Mata Menteri Susi Saat Gus Mus Bacakan Puisi...
Kiai pengasuh pondok pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, ini dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai HAM.
"Gus Mus ingin mengatakan Indonesia adalah tempat bagi semua agama dan aliran," kata Todung.
Todung mengatakan, di tengah menguatnya radikalisme dan sektarianisme, masyarakat membutuhkan sosok seperti Gus Mus.
Baca: Gus Mus, Keteduhan Sang Pejuang Keberagaman...
Kedua paham tersebut, kata Todung, sangat mengganggu situasi masyarakat yang beragam dan majemuk.
Sementara, Gus Mus tidak pernah rela keberagaman dirusak oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Kita sangat butuh sosok yang kuat konsisten dan jujur seperti Gus Mus. Beliau tidak ikhlas jika kemajemukan dicabik oleh ideologi yang anti kemajemukan," kata Todung.
Saat memberikan sambutan usai menerima penghargaan, Gus Mus menilai pertimbangan dewan juri terlalu berlebihan. Ia merasa dirinya bukan pejuang HAM.
"Saya ini enggak ngerti HAM. Dewan juri ini sepertinya lebay. Saya ini ngerti HAM ya baru akhir-akhir ini setelah bertemu para milenials itu," kelakar Gus Mus yang membuat seluruh tamu undangan tertawa.
Baca juga: Profil Gus Mus, Peraih Yap Thiam Hien Award 2017
Menurut Gus Mus, apa yang ia lakukan selama ini merupakan kewajiban sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Para kiai yang menjadi gurunya di pesantren selalu berpesan bahwa Indonesia adalah rumah yang harus terus dijaga.
“Saya banyak mondok di pesantren. Para kiai dan guru saya mengajarkan bahwa Indonesia itu rumahmu. Ya saya jaga rumah saya,” ucapnya.
Gus Mus merupakan ulama pertama yang menerima penghargaan bagi pejuang HAM, Yap Thiam Hien award.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu dinilai sebagai sosok ulama yang memiliki keteguhan dalam membangun moralitas kemanusiaan di tengah bangsa yang beragam.
Baca juga: Gus Mus, Kiai Pertama Peraih Penghargaan Yap Thiam Hien
Gus Mus dilahirkan di Rembang , 10 Agustus 1944. Ia dibesarkan dalam keluarga yang patriotis, intelek, dan progresif.
Dikutip dari laman situs gusmus.net, Kakeknya, H. Zaenal Mustofa, adalah seorang saudagar ternama yang dikenal sangat menyayangi ulama.
Sehari-hari, Gus Mus mengasuh pondok pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, yang didirikan oleh ayahnya, KH. Bisri Mustofa, pada 1955.
Sejak muda, Gus Mus mempunyai kebiasaan menulis sajak. Ia suka membaca sejak masa kanak-kanak. Tulisannya sejak remaja sudah banyak dimuat berbagai media massa, termasuk Harian Kompas.