JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekjen Partai Hanura Dadang Rusdiana menyatakan, semestinya komitmen Presiden Joko Widodo untuk meminta menteri tidak rangkap jabatan dengan pengurus partai politik diberlakukan adil.
Saat ini, Jokowi mengizinkan dua menterinya untuk aktif sebagai pengurus Partai Golkar, bahkan salah satunya menjabat ketua umum.
Dadang mengatakan, Partai Hanura sudah memberikan contoh melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang melepas jabatannya sebagai ketua umum saat ditunjuk untuk masuk ke dalam kabinet.
Karena itu, Dadang juga mengharapkan partai lain konsisten menjalankan larangan menterinya di kabinet untuk rangkap jabatan.
"Tidak boleh ada diskriminasi, semua golongan harus dilayani. Berbicara partai pasti ada konflik kepentingan. Lebih ideal semua menteri yang rangkap jabatan mesti melepas salah satu," kata Dadang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
(Baca juga: Politisi PDI-P Minta Jokowi Pertegas Apa Rangkap Jabatan Bisa untuk Selain Golkar)
Saat ditanya konsistensi Jokowi dalam menegakan aturan tersebut yang mulai melemah, Dadang meyakini Presiden Jokowi akan tetap konsisten dengan komitmennya.
Menurut dia, saat ini Jokowi sedang memberikan kesempatan bagi Partai Golkar untuk membenahi internalnya usai pergantian kepengurusan.
"Saya masih percaya sama Jokowi. Beliau masih memberikan rangkap jabatan untuk menata dulu," ucap Dadang.
"Mohon maaf mereka (Golkar) kan baru selesai dari konflik. Mungkin itu diberikan ruang dan jika sudah established baru (dijalankan). Saya sarankan ini enggak boleh berlarut-larut," kata dia.
(Baca juga: Idrus Marham Rangkap Jabatan, Istana Sebut Asal Bukan Ketum Parpol)
Dalam Kabinet Kerja saat ini, ada dua menteri yang tercatat sebagai pengurus aktif DPP Partai Golkar. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto tercatat sebagai Ketua Umum Partai Golkar, sedangkan Menteri Sosial Idrus Marham tercatat sebagai Koordinator Bidang Eksekutif dan Legislatif.
Selain itu, ada sejumlah menteri yang tadinya aktif sebagai pengurus partai, kemudian memilih nonaktif saat ditunjuk menjadi pembantu Presiden.
Beberapa di antaranya adalah Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Maharani yang dinonaktifkan PDI-P, dan Menko Polhukam Wiranto yang tak lagi menjadi Ketua Umum Partai Hanura.