JAKARTA, KOMPAS.com - Diaturnya pasal tentang pidana narkotika dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP) dinilai dapat mempersulit penegak hukum.
Aturan dalam RKUHP dinilai mencampurkan antara hukum dan tanggung jawab untuk memberikan akses kesehatan bagi pemakai narkotika.
Hal itu dikatakan pengajar dan Kepala LPPM Unika Atma Jaya Asmin Fransiska dalam jumpa pers di Kantor LBH Masyarakat di Tebet, Jakarta, Jumat (19/1/2018).
"Pasal pidana narkotika dalam RUU KUHP membenturkan kebijakan negara dengan regulasi. Dua hal ini seharusnya dipahami dalam kontekstual yang berbeda," kata Siska.
Menurut dia, aturan baru yang akan segera disahkan oleh DPR itu dapat mengurangi efektivitas penegak hukum.
Sebagai contoh, penegak hukum diwajibkan memproses hukum seorang pemakai narkotika.
(Baca juga: Pemerintah dan DPR Segera Rampungkan Revisi KUHP)
Namun, di saat yang sama, penegak hukum wajib memberikan akses kesehatan bagi pemakai narkotika tersebut karena salah satu kewajiban negara adalah memenuhi akses kesehatan bagi pemakai narkotika.
Misalnya, menurut Siska, polisi dan jaksa harus memberikan konseling, pra-rehabilitasi dan pengobatan bagi si pemakai.
"Bagaimana negara bisa memastikan jaksa melakukan konseling. Padahal, kasus pidana paling banyak menyerap energi. Penegak hukum harus pikirkan untuk mendatangkan psikolog atau psikiater," kata Siska.
Masyarakat sipil dari berbagai organisasi mendorong agar DPR membatalkan diaturnya pidana narkotika dalam R-KUHP.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.