Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berita Populer: Bukan untuk Mendatangkan Becak Baru, Bukan untuk Melegalkan Cantrang Selamanya

Kompas.com - 18/01/2018, 07:44 WIB

PALMERAH, KOMPAS.com - Berita populer di Kompas.com pada Rabu (17/1/2018) kemarin didominasi terkait dibolehkannya becak beroperasi di lingkungan terbatas di DKI Jakarta. Ada pula demo nelayan yang menuntut dilegalkannya alat tangkap cantrang.

Pada akhirnya, becak dibolehkan beroperasi hanya di lingkungan terbatas, di kampung-kampung dan bukan untuk di jalan raya. Kebijakan ini juga bukan untuk mendatangkan becak-becak baru, melainkan untuk menata becak yang sudah ada di Jakarta.

Pemerintah akhirnya membolehkan nelayan untuk masih menggunakan alat tangkap cantrang, namun dengan catatan harus ada kemauan untuk segera berpindah ke alat tangkap lainnya. Pemerintah menegaskan, bukan untuk melegalkan cantrang namun untuk memberi kesempatan kepada nelayan untuk beralih ke alat tangkap baru.

Bagi Anda yang tak mau ketinggalan berita aktual kemarin, simak rangkaian berita populer dari Kompas.com. Jangan sampai kurang update!


1. Anies: Ini Bukan Kebijakan Mendatangkan Becak!

Penarik becak di kawasan Kampung Bahari Jakarta Utara, Selasa (16/1/2018). Perhatian terhadap penarik becak kembali diberikan oleh Gubernur Anies Baswedan. Ia berharap becak tetap beroperasi di rute khusus di JakartaKOMPAS.com/Setyo Adi Penarik becak di kawasan Kampung Bahari Jakarta Utara, Selasa (16/1/2018). Perhatian terhadap penarik becak kembali diberikan oleh Gubernur Anies Baswedan. Ia berharap becak tetap beroperasi di rute khusus di Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan bahwa kebijakan yang dia buat bukan untuk mendatangkan becak-becak agar beroperasi di Jakarta, melainkan untuk menata becak yang memang sudah ada di Jakarta.

"Jadi, pertama, ini bukan kebijakan mendatangkan becak. Ini adalah kebijakan untuk mengatur becak yang senyatanya ada di Jakarta," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (17/1/2018).

Anies mengacu pada organisasi Serikat Becak Jakarta (Sebaja) yang memiliki 1.000 anggota. Tukang becak itu tersebar di kawasan Jakarta Utara, seperti di Teluk Gong, Tanah Pasir, Jelambar, Pejagalan, Muara Baru, Pademangan, dan Koja.

"Faktanya ada dan selama ini mereka kejar-kejaran, kasihan hanya jadi korban," ujar Anies.

Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta akan mengatur agar becak-becak itu beroperasi di lokasi yang ditentukan.

Baca selengkapnya: Anies: Ini Bukan Kebijakan Mendatangkan Becak!  


2. Pengacara Novanto Tolak Permintaan Fredrich Yunadi soal Boikot KPK

Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto (kiri) didampingi penasihat hukumnya Maqdir Ismail menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/1). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterang saksi dari pegawai perusahan penukaran mata uang asing (money changer) yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK.  ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/18.Hafidz Mubarak A Terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto (kiri) didampingi penasihat hukumnya Maqdir Ismail menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/1). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterang saksi dari pegawai perusahan penukaran mata uang asing (money changer) yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww/18.
Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail, menolak permintaan Fredrich Yunadi agar advokat memboikot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Maqdir menilai permintaan Fredrich itu tidak ada manfaatnya.

"Waduh, berat amat itu ajakan. Klien nanti mencak-mencak semua dan belum tentu banyak manfaatnya untuk klien," ujar Maqdir saat diminta tanggapannya, Selasa (16/1/2018).

Menurut Maqdir, sebaiknya Fredrich menyelesaikan persoalannya dengan KPK melalui jalur hukum.

Misalnya, Fredrich yang ditetapkan sebagai tersangka dapat mengajukan gugatan praperadilan.

Selain itu, Fredrich juga dapat mengajukan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi.

Baca juga : Fredrich Yunadi Imbau Advokat Boikot KPK

Menurut Maqdir, perbuatan menghalangi penyidikan dalam Pasal 21 UU Tipikor adalah ranah pidana umum, bukan pidana korupsi.

Baca selengkapnya: Pengacara Novanto Tolak Permintaan Fredrich Yunadi soal Boikot KPK


3. Kisah Asmara Sepasang Kekasih yang Tewas di Pantai Telawas karena "Selfie"

Dedy Suriadi dan Eka Darmayanti, sepasang kekasih, ditemukan tewas setelah terempas dan terseret arus saat swafoto di Pantai Telawas di Desa Mekar Sari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Minggu (14/1/2018).dok Facebook Dedy Suriadi dan Eka Darmayanti, sepasang kekasih, ditemukan tewas setelah terempas dan terseret arus saat swafoto di Pantai Telawas di Desa Mekar Sari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Minggu (14/1/2018).
Dedy Suriadi dan Eka Darmayanti, sepasang kekasih, ditemukan tewas setelah terempas dan terseret arus saat swafoto di Pantai Telawas di Desa Mekar Sari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Lombok, Minggu (14/1/2018).

Keduanya ditemukan tewas dalam waktu yang berbeda. Jasad Eka ditemukan pada hari Minggu, sedangkan jenazah Dedy baru ditemukan pada 16 Januari 2017.

“Seumpama keranda jenazah itu bisa saya pikul sendiri, saya bersedia mengusungnya sendiri,” ungkap Marwan Sugandi saat mengantar jenazah Eka, mantan kekasihnya, ke pemakaman umum di Desa Kawo, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Senin (15/1/2018).

(Baca juga: Swafoto, Sepasang Kekasih Terempas Gelombang di Pantai Telawas Lombok)

Eka adalah mahasiswi semester V Jurusan D3 Perpajakan Universitas Mataram dari Dusun Karang Daye, Desa Kawo, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Marwan mengaku sangat sedih karena baginya Eka adalah sosok yang spesial. Meski sudah mantan, hubungan mereka selama lima tahun membekas dalam baginya.

Baca selengkapnya: Kisah Asmara Sepasang Kekasih yang Tewas di Pantai Telawas karena Selfie

4. Trump Bekukan Sumbangan Rp 865 miliar untuk Rakyat Palestina

Presiden AS, Donald Trump.ANDREW CABALLERO-REYNOLDS / AFP Presiden AS, Donald Trump.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membekukan lebih dari setengah sumbangan dana bagi badan PBB yang membantu rakyat Palestina.

Pemerintah AS sudah memberi tahu badan bantuan PBB, UNRWA, mengenai pembayaran angsuran pertama tahun ini senilai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp 800 miliar, namun sisanya senilai 65 juta dolar AS atau setara dengan Rp865 miliar akan dibekukan dan tergantung pertimbangan di masa mendatang.

Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan perlu evaluasi yang mendasar terhadap UNRWA.

"Perlu ada penilaian yang mendalam tentang bagaimana UNRWA bekerja dan bagaimana program-program organisasi ini dibiayai," kata seorang pejabat Amerika yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Dia mengatakan AS ingin sumber dana UNRWA dibagi rata dengan negara-negara lain.

Baca juga : Trump Bekukan Sumbangan Rp 865 miliar untuk Rakyat Palestina

5. Cantrang yang Kembali Diizinkan dan Pesan Susi Bagi Nelayan

Ratusan Nelayan dari berbagai daerah yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) menggelar unjuk rasa di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (17/1). Mereka mendesak Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Nomor 2/2015 yang mengatur penggunaan alat cantrang oleh nelayan tradisional. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama/18ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto Ratusan Nelayan dari berbagai daerah yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) menggelar unjuk rasa di Monas, Jakarta Pusat, Rabu (17/1). Mereka mendesak Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Nomor 2/2015 yang mengatur penggunaan alat cantrang oleh nelayan tradisional. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/ama/18
Setelah menemui Presiden Joko Widodo serta Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti di Istana Merdeka, Rabu (17/1/2018) sore, perwakilan nelayan yang menggelar unjuk rasa untuk sesaat bisa bernafas lega.

Pertemuan tersebut membuahkan keputusan bahwa larangan penggunaan cantrang belum diterapkan. Sehingga nelayan diperbolehkan menggunakan alat penangkapan ikan (API) ) yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal tersebut.

Susi pun menyampaikan pesan kepada para nelayan yang berunjuk rasa, langsung dari atas mobil komando usai kesepakatan diraih. Di hadapan nelayan, Susi menegaskan agar keputusan itu dihormati dan dijalankan sebaik-baiknya tanpa melakukan kecurangan dalam bentuk apapun.

"Saya tidak mau ada kapal cantrang ilegal, tidak punya ukuran, ukurannya mark down, masih melaut. Kemudian tidak boleh ada kapal tambahan lagi," kata Susi melalui pengeras suara.

Isi kesepakatan antara Presiden Jokowi, Susi, dan perwakilan nelayan adalah penggunaan cantrang diizinkan hingga waktu yang belum ditentukan. Meski begitu, Susi menegaskan tidak mencabut aturan larangan penggunaan cantrang yang telah dibuat sebelumnya.

Dasar larangan penggunaan cantrang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, di mana itu merupakan kebijakan lama. Namun, pelaksanaannya ditunda dua tahun atas dasar permintaan nelayan kepada Ombudsman dan efektif penundaan tersebut selesai Desember 2017 lalu.

Baca juga : Cantrang yang Kembali Diizinkan dan Pesan Susi Bagi Nelayan

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com