JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat mengenai putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Dalam putusannya, MK menolak uji materi terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal tersebut mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan presidential threshold, maka Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
Baca juga : Presidential Threshold 20 Persen, Gerindra Tetap Usung Prabowo di Pilpres 2019
MK juga menilai pasal 222 tidak kadaluarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.
Namun, di akhir pembacaan putusan, Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo menyatakan disssenting opinion.
Keduanya berpendapat aturan presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945. Presidential threshold dinilai tidak relevan dengan desain pemilu 2019 di mana pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak.
"Rezim ambang batas dalam pencalonan presiden dan wapres menggunakan hasil pemilu legislatif kehilangan relevansinya, dan mempertahankannya berarti bertahan memelihara sesuatu yang inkonatitusional," kata Hakim Suhartoyo.
Baca juga : MK Tolak Uji Materi Presidential Threshold
Selain itu, aturan tersebut memberikan diskriminasi terhadap parpol baru dengan parpol lama. Parpol baru tidak memiliki hak untuk mengajukan calon.
"Padahal pemenuhan hak konstitusional parpol peserta pemilu untuk mengusulkan capres dan cawapres yang diatur eksplisit dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945," ucap Suhartoyo.
Saldi Isra mengatakan, selama ini memang ada pendapat bahwa presidential threshold bisa menciptakan dukungan yang kuat bagi Presiden di parlemen. Namun menurut Saldi, dukungan yang besar terhadap Presiden di parlemen bisa juga mengarah pada praktik otoriter seperti di era orde baru.
"Jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter," kata Saldi Isra.