JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
Adapun pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, logika MK dalam mengambil keputusan tersebut membingungkan dan terbolak-balik.
"Alih-alih menjamin konstitusionalitas pengaturan, MK mahal menghubungkan ambang batas pencalonan Presiden dengan semangat penyederhanaan kepartaian," kata Titi kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
(baca: MK Tolak Uji Materi "Presidential Threshold")
Ia juga menilai, argumentasi MK sesungguhnya tidak berkaitan dengan konstitusionalitas pasal yang diuji, yakni Pasal 222 UU Pemilu.
"Kami menghormati putusan MK. Tetapi, sulit menerima logika dan argumentasi yang digunakan MK," imbuh Titi.
MK, sambung dia, sama sekali tidak mempertimbangkan aspek rasionalitas dan keadilan konstitusional dalam pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu.
"Argumen MK bahwa ambang batas Presiden memperkuat sistem presidensial juga sangat lembah, mudah dibantah, dan tidak meyakinkan," pungkasnya.
Sebelumnya, MK menolak uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas pilpres 2019.
Partai Idaman juga menilai pasal tersebut tak relevan karena pileg dan pilpres 2019 digelar secara serentak.
Selain itu, Partai Idaman juga menilai pasal tersebut diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan capres.