JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, partainya tetap akan mengusung sang Ketua Umum Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pemilu Presiden 2019.
Ia mengatakan, partainya tetap akan mengusung Prabowo bersama sekutunya, PKS, untuk Pemilu Presiden 2019.
"Seperti kata Pak Prabowo, PKS kan sekutu kami dan yang selama ini sudah teruji tidak pernah meninggalkan kami, ya, PKS," kata Andre saat dihubungi, Kamis (11/1/2018).
Ia mengatakan, kursi Gerindra di DPR saat ini berjumlah 73 kursi. Sementara itu, kursi PKS di DPR berjumlah 40 kursi. Dengan demikian, Gerindra dan PKS bisa mengusung Prabowo sebagai capres.
Syarat minimal untuk mengajukan capres ialah 112 kursi, yakni 20 persen dari total kursi di DPR. Sementara kursi Gerindra dan PKS berjumlah 113 jika digabung.
"Tinggal sekarang mohon doanya Pak Prabowo mau dicalonkan oleh kami. Sebab, kami punya keyakinan Pak Prabowo bisa memenangi kontestasi ini melihat perkembangan terkini," lanjutnya.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi "Presidential Threshold"
Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta, Selasa (11/1/2018).
Adapun Pasal 222 mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Baca juga: Uji Materi UU Pemilu, Ahli Ungkap Alasan "Presidential Threshold" Inkonstitusional
Dalam dalil yang diajukan, Partai Idaman di antaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai ambang batas Pemilu Presiden 2019.
Dalam pertimbangannya, MK menilai, presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial.
Dengan presidential threshold, Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.
MK juga menilai, Pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017, bukan UU lama yang digunakan untuk menggelar Pemilu Presiden 2014. MK juga menilai, Pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.