JAKARTA, KOMPAS.com - Rangkap jabatan yang dilakukan Airlangga Hartarto, sebagai Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar menimbulkan polemik.
Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah meminta para menteri yang masuk di kabinet untuk tidak merangkap jabatan politis.
Namun, sebenarnya adakah peraturan yang melarang seorang menteri rangkap jabatan politis?
"Kalau kita lihat secara legal formal, yuridis normatif, tidak ada satu ketentuan yang secara eksplisit menyatakan menteri dilarang menjabat sebagai pimpinan partai," kata pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Suparji Ahmad dalam sebuah diskusi di Jl Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (6/1/2018).
Lebih jauh Supardi mengatakan, ketentuan yang ada pada Pasal 23 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 pun menimbulkan interprestasi.
(Baca juga : Ada Kebutuhan Jokowi Melindungi Pengaruh Politik Airlangga)
Pasal 23 huruf C berbunyi "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah".
"Pertanyaannya, apakah parpol dibiayai dari APBN dan atau APBD?" kata Suparji.
Dia melanjutkan, mungkin saja ada asumsi seperti itu bilamana partai yang memperoleh suara diberikan dana untuk pembinaan kader atau partai bersangkutan.
"Namun pertanyaannya apakah (karena dana bantuan parpol) itu (lantas) bisa dikualifikasi sebagai pembiayaan yang sudah dianggarkan secara terstruktur dalam konteks APBN dan atau APBD?" imbuhnya.
Lantaran satu-satunya ketentuan mengenai ini pun masih multi-interpretasi, Suparji meyakini sejauh ini belum ada peraturan menyatakan secara eksplisit, jelas, dan tersurat mengenai larangan rangkap jabatan.
Suparji menambahkan, isu rangkap jabatan sebenarnya bukan pada legal formalnya, melainkan lebih kepada tinjauan etis.
"Siapa yang harus mengedepankan etika politik itu? Tentu semua pihak," pungkasnya.